Advertorial
Intisari-Online.com -Berbagai ketegangan di sekitar perairan Semenanjung Korea, khususnya dengan Korea Utara, semakin mendorong Korea Selatan untuk mewujudkan ambisinya memiliki AL yang kuat.
Para pejabat AL Korea maupun pengamat kemaritiman berpendapat, sekalipun kemajuan ke arah itu tampaknya lamban, namun arahnya pasti.
Pengalaman pahit tahun 2010 tatkala Korea Utara membombardir sebuah pulau Korsel, bahkan mengaramkan sebuah korvet Korsel yang diyakini ditorpedo Korut, membangkitkan semangat Korsel membangun pertahanan pantainya guna menangkis invasi dari utara.
Tetapi lebih dari itu, keinginan keras mengembangkan kekuatan laut yang mampu melakukan operasi di luar wilayahnya pun, semakin tinggi.
Keinginan ini dipicu oleh pembangunan kekuatan laut negara sekitarnya, terutama China, serta adanya potensi konflik teritorial dengan Jepang mengenai pulau-pulau kecil di timur Korea, Dokdo.
Mantan Kastaf Operasi AL Korsel, Laksamana Jung Ok-keun tahun lalu menegaskan keharusan negaranya membangun powerful blue-water force, dengan kemampuan operasi jarak jauh di luar wilayahnya.
Ia menunjuk contoh keberhasilan AL Korsel dalam Operasi Cheonghae untuk menghadapi perompak di perairan Somalia.
Selain dengan Jepang, potensi konflik teritorial juga bisa terjadi dengan China.
Pernyataan seorang pejabat kemaritiman China tahun lalu, menimbulkan reaksi keras di Seoul, karena pejabat itu mengatakan China berkuasa atas pulau karang Ieodo, yang terletak di lepas pantai Pulau Jeju di selatan ujung Semenanjung Korea.
Formasi karang itu berada dalam zona ekonomi eksklusif masing-masing yang saling overlap.
Padahal menurut hukum maritim internasional, formasi karang yang terendam air laut tidaklah dapat diklaim oleh negara mana pun.
Namun kenyataannya Korsel secara efektif mengontrolnya, karena posisi Ieodo paling dekat adalah dengan Korsel.
Untuk melindungi jalur-jalur perkapalannya di selatan semenanjung, maka Korsel kini membangun pangkalan laut baru di Pulau Jeju, yang juga dikenal sebagai pulau wisata.
Pangkalan itu menjadi basis bagi armada mobil strategis atau “strategic mobile fleet” kapal-kapal perang Korsel.
Armada ini antara lain terdiri dari sejumlah kapal perusak KDX-III Aegis yang berukuran 7.600 ton, kapal perusak KDX-II (4.500 ton), kapal selam serang Tipe-214 (1.800 ton), dan fregat generasi mendatang FFX (2.300 ton).
(Baca juga: Rentan Terlibat Perang Nuklir, di Korea Utara Stasiun Kereta Api juga Berfungsi Sebagai Bungker)
Selain membangun pangkalan penting itu, AL juga mempercepat pembentukan komando kapal selam.
Kini AL Korsel mengoperasikan sembilan kapal selam Tipe 209 (1.200 ton) buatan Jerman, dan tiga Tipe 214 buatan Korea bekerjasama dengan HDW Jerman, pembuat Tipe 209.
Enam Tipe 214 lainnya sedang dalam pembangunan, dan akan dioperasikan mulai 2018.
Kemampuan industri perkapalan Korsel kini telah mendapat pengakuan internasional.
Seperti Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME), yang memperoleh pesanan tiga kapal selam dari Indonesia, dan empat kapal tanker MARS (Military Afloat Reach and Sustainability) dari AL Kerajaan Inggris.
Norwegia dikabarkan juga tertarik untuk memesan tanker MARS dan mungkin kapal selam dari Korsel.
Dalam upaya menuju blue-water force, Seoul juga akan membangun kapal selam yang sepenuhnya dirancang dan dibangun sendiri, yaitu KSS-III berukuran 3.000 ton, yang dilengkapi sistem tempur produksi dalam negeri, termasuk deteksi sasaran otomatis, sistem dan kontrol senjata, pelacakan, dan peringatan ancaman.
Menurut pengamat militer Korea, kebutuhan akan kapal selam serang canggih merupakan keharusan untuk menetralisasi kemampuan asimetrikal Korut yang semakin kuat.
Selain itu Seoul juga akan membangun lagi sedikitnya tiga kapal perusak yang dilengkapi sistem pertahanan udara Aegis.
Untuk pertahanan, AL Korsel sekurang-kurangnya harus memiliki enam kapal Aegis.
Dua kapal selalu dalam posisi tempur, dua lainnya siaga, dan sisanya dalam perawatan reguler.
AL juga mendesak pengadaan kapal-kapal perusak Aegis berukuran 5.600 ton setelah tahun 2018.
Kapal perang Aegis berukuran medium yang diberi kode KDX-IIA ini akan dilengkapi radar multifungsi, entah buatan Korea sendiri atau pun dari AS, Inggris, atau Perancis.
Sedangkan KDX-III akan memperoleh radar SPY-1D buatan Lockheed Martin, yang mampu melacak sekitar 1.000 pesawat udara secara simultan dalam radius 500 km.
Keinginan kuat Korsel membangun AL yang mampu mengarungi lautan, juga tampak dari pembuatan 20 kapal fregat FFX yang akan rampung tahun 2020.
Fregat berbobot 2.300 ton ini memiliki radius operasional hingga 4.300 mil, dilengkapi dengan meriam 127 mm, sistem meriam anti-pesawat Phalanx kaliber 20 mm, dan sistem rudal pertahanan udara RAM Blok 1.
Kapal perang ini pun memiliki rudal jelajah dan rudal anti-kapal yang tidak hanya siap untuk menggebuk Korut tapi juga kapal-kapal perang dari negara lain yang potensi menjadi ancaman seperti China serta Jepang.