Tahun 2016, setelah perseteruan hukum selama tiga tahun antara pebisnis Selandia Baru dan pemerintah Italia untuk memperebutkan kepemilikan pulau, pengadilan memutuskan Budelli menjadi bagian dari Taman Nasional Maddalena.
Di tahun yang sama, taman nasional itu menentang hak Morandi untuk hidup di pulau tersebut, namun publik segera meresponnya.
Petisi yang memprotes penggusurannya berhasil mengumpulkan lebih dari 18.000 tanda tangan, yang efektif menekan politisi lokal untuk menunda pengusirannya tanpa batas waktu.
"Aku tidak akan pergi," kata Morandi. "Aku berharap meninggal di sini, dikremasi, dan abuku bertebaran bersama angin."
Ia meyakini, semua kehidupan pada akhirnya akan bertemu kembali dengan Bumi—bahwa kita semua adalah bagian dari energi yang sama.
Orang-orang Stoa dari Yunani kuno menyebutnya sebagai sympatheia, keyakinan bahwa dunia ini adalah kesatuan organisme hidup yang tak terpisahkan dan saling berkesinambungan tanpa akhir.
Keyakinan tentang keterkaitan tersebut mendorong Morandi untuk bertahan di Budelli tanpa kompensasi apa pun.
Setiap hari ia mengumpulkan sampah plastik yang terdampar di pantai dan berkutat dengan flora dan fauna.
Di luar keengganannya bergaul dengan manusia, ia menjaga pantai-pantai Budelli dengan semangat dan mengedukasi pengunjung musim panas tentang ekosistem dan bagaimana cara melindunginya.
"Aku bukan ahli botani atau ahli biologi," kata Morandi. "Ya, aku tahu nama-nama tanaman dan hewan, tetapi pekerjaanku jauh berbeda. Menjaga tanaman adalah pekerjaan teknis, sedangkan aku berusaha membuat orang-orang mengerti mengapa tumbuhan butuh hidup."
Morandi percaya bahwa mengajari orang-orang bagaimana melihat keindahan akan menyelamatkan dunia dari eksploitasi secara lebih efektif ketimbang dengan cara-cara yang saintifik.
"Aku ingin orang-orang mengerti bahwa kita harus mencoba tidak melihat keindahan, tetapi merasakan keindahan dengan mata tertutup," tambahnya.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR