Maggie akhirnya membuka sebuah kedai minum paling laris di Willisham dan memberi tempat terhormat bagi tangan tersebut di salah satu dindingnya.
Tangan itu diletakkan dalam kotak kaca dengan latar belakang kain beludru hitam, jari jemari yang telah kisut itu menarik perhatian semua orang.
Setelah hiruk-pikuk yang timbul akibat pajangan itu reda, kisah pembunuhan Mary menjadi topik perbincangan yang paling seru.
Pada malam bulan Maret 1895, seorang asing duduk mendengarkan pembicaraan itu.
"Mestinya malam yang naas itu seperti malam ini ketika angin keras bertiup mencabut akar pohon oak tua itu," kata seseorang.
Pria asing dengan wajah hancur itu mengangkat wajahnya, "Saya tidak paham. Pohon Oak apa?" tanyanya.
"Coba lihat kotak kaca di dinding itu dan dengarkan kisah selanjutnya," penjaga bar itu menanggapinya.
Beberapa saat kemudian, orang asing itu berteriak dengan keras. Dia terjatuh sambil bersandar ke tembok, darah menetes dari jarinya.
Seorang pria tua di bar mengenalinya sebagai kekasih lama Mary yang hilang, John Bodneys.
Ketika polisi Constable Klug tiba, pria dengan jari berdarah itu mengaku telah membunuh Mary Grey.
Karena cemburu yang membabi buta, dia mencari sang pengantin yang berada sendirian di kamarnya. Dibekapnya mulut Mary lalu dibawa keluar rumah.
Bodney bersikukuh bahwa dia tidak bermaksud membunuhnya.
Namun, setiba mereka di pohon oak raksasa itu, Mary berupaya melepaskan diri sekuat tenaga hingga dengan terpaksa dia mematahkan lehernya.
Bodneys lalu menguburnya di bawah pohon oak dan mencoba melupakan peristiwa di desa Willisham itu untuk selamanya.
Sejak melakukan kejahatan itu, hatinya tidak pernah merasa tenang dan akhirnya dia kembali lagi.
Setelah dimasukkan ke penjara setempat untuk menunggu pengadilannya, dia meninggal karena "penyakit tak diketahui" sebelum sempat diadili.
Para penguasa setempat konon tidak percaya dengan kisah bahwa tangan si pembunuh itu kadang-kadang meneteskan darah ketika dihadapkan dengan bukti kejahatannya.
Namun penduduk desa itu percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mereka mengubur tangan Mary Greys bersama dengan seluruh kerangka jenazahnya lalu dilakukan upacara pembakaran baju yang terkena tetesan darah John Bodney saat dia berhadapan dengan bukti akibat perbuatannya itu.
(Seperti pernah dimuat di Buku Ratapan Arwah; Kisah Nyata Kutukan & Tulah – Intisari)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR