Kalaulah saya harus mendahuluinya memenuhi "janji" pada Sang Pencipta, saya merasa bersyukur mendapatkan jodoh seperti istri saya itu.
Janji istri
Saya tak tahu, apa ada kaitan penyakit jantung dengan penyakit kencing manis (diabetes). Pada kontrol yang kedua kali setelah empat bulan menjalani operasi, ketahuanlah saya mengidap sakit diabetes.
Kadar gula darah mencapai 130 sebelum makan, menyebabkan saya harus meminum dua macam obat, degoksin untuk jantung dan diamicron untuk kencing manis.
Ternyata gula darah terus menaik, pernah mencapai 596, dan terpaksa dirawat di RS Muhammad Husen, Palembang.
Sejak tahun 1995, setahun sekali saya melakukan kontrol di RS Harapan Kita. Selain kontrol ke Jakarta, saya pun minum jejamuan, buatan sendiri atas petunjuk orang-orang tua.
Menurut mereka, untuk melawan kencing manis sebaiknya minum yang pahit-pahit. Seperti rebusan daun pepaya, rebusan batang brotowali, rebusan daun mindi, dan perasan daun sambiloto.
Kalau rajin minum ramuan itu, kata orang diabetes akan bisa berkurang. Siapakah yang rajin meramu jejamuan itu?
Tak lain adalah istri saya, Sunarti. Dia tak pernah mengesampingkan tugas sebagai pendamping suami. Padahai, empat tahun memasuki masa pensiun ia berkuliah lagi mengambil S2 di suatu universitas swasta di Palembang.
Kalau ditanya, ia bilang untuk memotivasi anak dan cucu agar rajin bersekolah. Nah, sore itu, di tengah kesibukannya mempersiapkan ujian tesis dua hari lagi, ia sempatkan mencari batang brotowali untuk ramuan jamu saya.
Memang sudah beberapa hari ini kami kehabisan. la mencari hingga ke kebun sekolah tempatnya mengajar, sekitar 3 km dari rumah. Setelah itu ia rebus, sambil memasak untuk makan malam.
Sekitar pukul 22.00, ia mengerik badannya sendiri. Melihat itu, tanpa diminta, saya lalu menggosoki badannya dengan minyak angin. Ketika saya pamit tidur, ia minta agar televisi jangan dimatikan, karena masih akan menonton sambil membaca-baca.
Pukul 23.00, ia menyusul ke tempat tidur. Begitu membaringkan diri, dia membangunkan saya, minta diambilkan minum. Ini di luar kebiasaan. Padahal itu bisa dilakukannya sendiri sebelum masuk kamar.
Sambil mengomel, saya bangkit keluar kamar, mengambilkan apa yang dimintanya. Lima menit kemudian saya kembali ke kamar. Ternyata ia sudah tidur. Saya agak kesal.
Saya coba membangunkan agar ia minum, tapi masya Allah, ia tak bereaksi. Saya guncang-guncang, ia tak juga bangun.
Air saya letakkan di bufet, lalu saya menelepon kedua anak kami, memberi tahu keadaan ibunya. Di rumah tak ada orang lain selain kami berdua.
Selesai menelepon, saya masih berusaha mengguncang badannya, dan mendengarkan napasnya. Sepertinya masih terasa denyut nadinya.
Sementara itu, tetangga mulai berdatangan. Setelah anak menantu saya datang, ia langsung membopong ibunya ke mobil dengan bantuan tetangga, secepatnya dilarikan ke RS Pertamina Plaju.
Saya sendiri seperti orang linglung, menerima kedatangan para tetangga masih dalam perasaan tak percaya bahwa istri sudah meninggal dunia.
Menanti janji
Hari-hari berikutnya, saya sendirian di rumah. Ada rasa sesal, berpuluh tahun istri melayani saya tanpa mengeluh, di saat menjelang akhir hidupnya ia minta tolong saya mengambilkan air minum saja, saya sudah mengomel.
Soal "janji" dan hari esok, sungguh kuasa Allah. Saya yang menderita sakit begini, dengan jantung dipasangi alat, justru belum kunjung "dipanggil".
Sedang si bungsu Vierda dan istriku, tanpa sakit sedikit pun, telah tiba pada "janji" mereka.
Ditemani kedua orang anak perempuan kami, beserta suami mereka, dan lima orang cucu, dari hari ke hari, saya menanti "janji" yang telah Allah tetapkan untuk saya.
Kelak, jika tiba, mudah-mudahan saya dipertemukan lagi dengan istri dan anak bungsu saya. Tapi, hari esok, siapa tahu?
(Seperti dimuat dalam Majalah Kisah Vol. 1– Intisari )
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR