Pengadilan Dapat Menganggap Vaksin Sebagai Penyebab Penyakit, Benarkah Lonceng Kematian Vaksin Sudah Berdentang?

Agus Surono

Editor

Vaksin MERS Belum Ditemukan, Buat Apa Jual Isu
Vaksin MERS Belum Ditemukan, Buat Apa Jual Isu

Intisari-Online.com – Lonceng kematian vaksin mulai berdentang dari Eropa.

Mahkamah Keadilan Uni Eropa pada hari Rabu (21/6/017) memutuskan bahwa pengadilan dapat menganggap vaksin sebagai penyebab penyakit, walaupun tanpa bukti ilmiah yang mengkonfirmasi adanya hubungan itu.

Pengadilan tertinggi Uni Eropa mengatakan bahwa jika seseorang – atau keluarganya - sebelumnya tidak memiliki riwayat suatu penyakit, kemudian menderita suatu penyakit setelah menerima suatu vaksin, serta ada pelaporan sejumlah kasus serupa di antara mereka yang menerima vaksin yang sama, maka itu sudah menjadi bukti yang cukup.

Keputusan tersebut bermula dari kasus seorang pria Prancis yang dikenal dengan J.W. yang mendapat vaksin hepatitis B pada tahun 1998 dan setahun kemudian menderita multiple sclerosis.

(Multiple sclerosis adalah kelainan neurologis ketika sistem kekebalan tubuh menyerang otak dan sumsum tulang belakang. Penyakit ini merusak jaringan saraf dan menyebabkan berbagai gejala, mulai dari masalah penglihatan hingga kelumpuhan. J.W. meninggal pada tahun 2011.)

(Baca juga: Jangan Kaget! Bukan Barang Baru, Ternyata Gerakan Anti-Vaksin Sudah Ada Sejak Tahun 1800-an)

Pada tahun 2006, J.W. menggugat perusahaan farmasi Sanofi Pasteur, yang memproduksi vaksin tersebut, menyalahkannya karena membuat kesehatannya menurun.

Kasus tersebut dibawa ke Pengadilan Tinggi di Prancis, namun ditolak. Alasannya, tidak ada konsensus ilmiah yang mendukung hubungan sebab-akibat dan tidak ada bukti adanya hubungan kausal antara vaksin hepatitis B dan multiple sclerosis pria tersebut.

JW kemudian naik banding yang akhirnya membawa kasus ini ke Pengadilan Eropa.

Pengadilan UE mengatakan bahwa "bukti spesifik dan konsisten" yang berkaitan dengan lini masa, status kesehatan sebelumnya, kurangnya riwayat keluarga, dan kasus multiple sudah cukup bukti, menurut sebuah pernyataan. Kasus J.W. mengacu pada tiga kriteria pertama.

Keputusan tersebut menambahkan bahwa pengadilan harus memastikan bahwa bukti "cukup serius, spesifik dan konsisten untuk menjamin kesimpulan," karena juga mempertimbangkan bukti dan argumen yang ada yang dibuat oleh produsen vaksin, untuk kemudian memutuskan bahwa vaksin adalah penjelasan yang paling masuk akal untuk setiap gangguan kesehatan.

(Baca juga: 5 Fakta Vaksin Ini akan Memberi Tahu Kita bahwa Vaksin Tak Sekadar Memberi Kekabalan pada Tubuh Manusia)

Keputusan pengadilan bukanlah keputusan untuk kasus J.W. namun memberikan panduan untuk semua pengadilan di Uni Eropa untuk mempertimbangkan masalah serupa.

Pengadilan Uni Eropa memberi wewenang kepada pengadilan masing-masing negara anggota untuk membuat penilaian semacam itu mengenai hubungan sebab akibat itu sendiri, berdasarkan bukti yang mereka hadirkan, tanpa bergantung pada pendapat ahli, kata Profesor Tony Fox dari kelompok obat farmasi di King's College London.

Membingungkan masyarakat

Dalam sebuah pernyataan, seorang perwakilan dari Sanofi Pasteur mengatakan, "Bukanlah peran kami untuk mengomentari keputusan hukum ini, namun Sanofi Pasteur ingin menegaskan kembali bahwa vaksinnya aman dan efektif dan melindungi terhadap penyakit menular. Vaksin hepatitis B kami aman Dan ditoleransi dengan baik, telah disetujui oleh Otoritas Kesehatan dan sudah dipasarkan lebih dari 30 tahun."

(Baca juga: Ternyata Ada Negara yang Tidak Mewajibkan Orangtua Memberikan Vaksin Kepada Anak Mereka, Inilah 5 Negara Itu)

"Tidak ada hubungan sebab akibat antara vaksin hepatitis B dan multiple sclerosis (MS), namun beberapa kasus setelah vaksinasi tidak akan mengherankan, terutama bila diberikan kepada remaja, tepat sebelum usia dini bagi banyak penderita MS," kata Keith Neal, profesor emeritus dalam epidemiologi penyakit menular di Universitas Nottingham.

"Apa yang mereka katakan adalah, vaksin tersebut bertanggung jawab atas MS pasien jika tidak dapat dibuktikan tidak berkaitan, dan itu hampir tidak mungkin diberikan apa yang dikatakan. Peraturan ini berpotensi mempengaruhi semua obat dan mengancam pengembangan obat baru."

Peter Openshaw, presiden British Society for Immunology dan profesor pengobatan eksperimental di Imperial College London, mengatakan, "Sangat penting bahwa Mahkamah Keadilan Eropa telah memutuskan bahwa hakim dapat mempertimbangkan apakah vaksinasi menyebabkan seseorang mengalami penurunan kondisi medis, bahkan jika tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya."

"Bukti ilmiah tidak mendukung hubungan antara vaksin hepatitis B, atau vaksin lain yang ada saat ini, dan multiple sclerosis," kata Peter. "Mengatakan bahwa ada kaitan antara vaksin dan multiple sclerosis dan pada saat yang sama mengakui bahwa tidak ada bukti ilmiah tentang hubungan semacam itu yang tidak masuk akal dan membingungkan masyarakat."

Riwayat kesehatan pasien sebelumnya, tidak adanya riwayat keluarga, dan hubungan sementara yang seharusnya dekat bisa terjadi kebetulan, kata Fox.

"Satu-satunya bukti dugaan yang patut dipertimbangkan secara serius adalah dugaan jumlah kasus serupa lainnya," katanya. "Data tersebut harus perbandingan kasus yang detail untuk konsistensi, dan mungkin juga studi epidemiologi normal."

Tapi tanpa penelitian semacam itu, Fox menambahkan, "Sebaiknya katakan juga, 'Jika vaksin ini menyebabkan MS, lalu mengapa jutaan orang yang telah divaksinasi tidak mendapatkan MS? Dan mengapa ada begitu banyak orang dengan MS tapi tidak pernah divaksinasi dengan vaksin ini?'"

Artikel Terkait