Perebutan dua sasaran itu sebenarnya lebih bermakna politis dibandingkan militer.
Selain itu, sebagai kawasan strategis, Sorong dan Fak Fak juga merupakan kawasan yang bisa direbut sesuai kemampuan pasukan Indonesia saat itu baik melalui operasi lintas udara maupun pendaratan amfibi.
Untuk operasi lintas udara sesuai rencana akan diterjunkan satu brigade pasukan para komando di antaranya terdiri dari satu batalyon pasukan PGT-AU dipimpin oleh Mayor Udara Rachman .
Sedangkan operasi amfibi dilaksanakan oleh satu batalyon Koprs Komando Operasi/ Batalyon Landing Troop (KKO/BLT) yang kemudian segera disusul pendaratan pasukan infantri berkekuatan satu brigade.
Namun sesuai perkembangan yang terjadi, pada 28 Mei 1962, ketentuan tersebut ternyata diubah. Pertimbangannya adalah aspek teknis, militer, dan politis yang semakin tidak menguntungkan.
Akibatnya operasi militer berupa perebutan dua sasaran terbatas itu dibatalkan.
Berdasarkan situasi yang berkembang operasi militer pengganti yang kemudian disusun adalah Operasi Jayawijaya.
Dalam Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi tempur gabungan berskala besar (total war) dan melibatkan armada kapal perang dalam jumlah besar (naval campign) berdasarkan Petunjuk No.06 (POPS No.06), diputuskan untuk merebut dan menduduki sasaran pokok Biak, sebagai pelaksanaan dari rencana operasi militer terbuka (B-1).
Untuk menentukan kepastian serbuan Operasi Jayawijaya, pada 25 Juni 1962, bertempat di Kesatrian Angkatan Laut Malang, Jawa Timur telah ditentukan bahwa hari H jatuh pada tanggal 12 Agustus 1962.
Dalam rapat yang berlangsung sangat rahasia itu juga ditetapkan beberapa perwira yang akan menyusun taktik dan strategi Operasi Jayawijaya seperti Komodor (P) Soedomo, Kolonel Udara Sri Mulyono Herlambang dan Mayor Udara Pribadi ditugaskan untuk menyusun rencana operasi perang di laut (naval warfare operation).
Komodor Udara Leo Wattimena dibantu oleh Kolonel Inf Achmad Wiranatakusumah, Mayor Udara M Loed ditugaskan untuk menyusun rencana operasi udara (airborne operation), Kolonel (P) Mulyono S, Letkol (P) Haryono Nimpuno, Letkol KKO Soewadji dan Mayor KKO Bob Adman ditugaskan untuk menyusun tentang rencana operasi perang amfibi (amphibious warfare).
(Baca juga: Sandyakalaning Cendana, Saat Soeharto Ditinggalkan Semua Orang Kepercayaan)
Sebagai hasil dari koordinasi tersebut, selanjutnya diputuskan pembagian tugas masing-masing pimpinan komponen.
Brigjen Rukman memimpin operasi pendaratan. Komodor Sudomo memimpin operasi amfibi, Komodor Udara Leo Wattimena memimpin operasi serangan udara, dan Mayjen TNI Soeharto sebagai Panglima Mandala akan memimpin langsung Operasi Jayawijaya.
Tapi Operasi Jayawijaya itu batal dilaksanakan karena pasukan Belanda yang ketakutan bersedia menyerahkan Irian Barat ke RI lewat mediasi yang dilakukan oleh PBB.
Pak Harto pun karier militernya makin bagus karena kemudian menjabat sebagai Pangkostrad dan selanjutnya Presiden RI yang kedua.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR