Mengingat Kembali Operasi Jayawijaya yang Urung Terjadi dan Semakin Harumnya Karier Jenderal Soeharto

Moh Habib Asyhad

Editor

Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai pemimpin Operasi Jayawijaya
Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai pemimpin Operasi Jayawijaya

Intisari-Online.com -Pada awal tahun 1962 ketika situasi permusuhan antara Indonesia dan Belanda untuk memperebutkan Irian Barat makin memuncak, konflik militer dalam skala besar seperti berada di pelupuk mata.

Ketegangan yang menjalar baik di kalangan politikus maupun militer akhirnya mengerucut berupa satu keputusan dan sekaligus merupakan tekad bulat bangsa Indonesia: Irian Barat harus diselesaikan secepatnya.

(Baca juga:Pesawat yang Pernah Intai Indonesia dan Picu Penyerahan Irian Barat ke Indonesia Itu Siap Pensiun)

Selain itu didorong oleh fakta di lapangan bahwa hasil dari kegiatan infiltrasi militer telah berdampak di bidang politik, maka pegangan tentang waktu D-Day yang telah disusun tidak dapat dipertahankan lagi.

Bahkan dalam waktu terbatas dan mengandalkan semua kekuatan militer yang dimiliki rencana operasi serbuan ke Irian Barat harus segera dirubah.

Fase Eksploitasi berdasarkan strategi dan bimbingan perencanaan Komando Mandala ditargetkan sudah selesai pada akhir tahun 1962.

Tapi karena situasi yang makin genting Fase Eksploitasi diajukan enam bulan ke muka tanpa harus mengubah pokok konsep strategi militer yang telah disusun.

Sebagai kelanjutan dari kegiatan infiltrasi adalah perebutan terhadap sasaran terbatas untuk pangkalan aju dan didasarkan pada kemampuan maksimal dari masing-masing komponen sesuai pengembangan satuan-satuannya.

Untuk segera mewujudkan langkah perubahan itu pada 7 April 1962 diputuskan bahwa (1) Fase Infiltrasi harus dipertinggi dan dipercepat (2) Fase Eksploitasi dilakukan pada awal juli 1962.

Dimajukannya waktu enam bulan ke depan langsung berpengaruh besar terhadap pengembangan kekuatan setiap komponen angkatan.

Dalam Fase Eksploitasi, sesuai rencana, operasi militer yang dilaksanakan adalah B-2, yakni operasi militer dengan sasaran terbatas terhadap kawasan Sorong dan Fak-Fak.

Kedua kawasan itu sengaja dipilih agar bisa diperoleh pangkalan yang lebih depan untuk operasi selanjutnya.

Perebutan dua sasaran itu sebenarnya lebih bermakna politis dibandingkan militer.

Selain itu, sebagai kawasan strategis, Sorong dan Fak Fak juga merupakan kawasan yang bisa direbut sesuai kemampuan pasukan Indonesia saat itu baik melalui operasi lintas udara maupun pendaratan amfibi.

Untuk operasi lintas udara sesuai rencana akan diterjunkan satu brigade pasukan para komando di antaranya terdiri dari satu batalyon pasukan PGT-AU dipimpin oleh Mayor Udara Rachman .

Sedangkan operasi amfibi dilaksanakan oleh satu batalyon Koprs Komando Operasi/ Batalyon Landing Troop (KKO/BLT) yang kemudian segera disusul pendaratan pasukan infantri berkekuatan satu brigade.

Namun sesuai perkembangan yang terjadi, pada 28 Mei 1962, ketentuan tersebut ternyata diubah. Pertimbangannya adalah aspek teknis, militer, dan politis yang semakin tidak menguntungkan.

Akibatnya operasi militer berupa perebutan dua sasaran terbatas itu dibatalkan.

Berdasarkan situasi yang berkembang operasi militer pengganti yang kemudian disusun adalah Operasi Jayawijaya.

Dalam Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi tempur gabungan berskala besar (total war) dan melibatkan armada kapal perang dalam jumlah besar (naval campign) berdasarkan Petunjuk No.06 (POPS No.06), diputuskan untuk merebut dan menduduki sasaran pokok Biak, sebagai pelaksanaan dari rencana operasi militer terbuka (B-1).

Untuk menentukan kepastian serbuan Operasi Jayawijaya, pada 25 Juni 1962, bertempat di Kesatrian Angkatan Laut Malang, Jawa Timur telah ditentukan bahwa hari H jatuh pada tanggal 12 Agustus 1962.

Dalam rapat yang berlangsung sangat rahasia itu juga ditetapkan beberapa perwira yang akan menyusun taktik dan strategi Operasi Jayawijaya seperti Komodor (P) Soedomo, Kolonel Udara Sri Mulyono Herlambang dan Mayor Udara Pribadi ditugaskan untuk menyusun rencana operasi perang di laut (naval warfare operation).

Komodor Udara Leo Wattimena dibantu oleh Kolonel Inf Achmad Wiranatakusumah, Mayor Udara M Loed ditugaskan untuk menyusun rencana operasi udara (airborne operation), Kolonel (P) Mulyono S, Letkol (P) Haryono Nimpuno, Letkol KKO Soewadji dan Mayor KKO Bob Adman ditugaskan untuk menyusun tentang rencana operasi perang amfibi (amphibious warfare).

(Baca juga:Sandyakalaning Cendana, Saat Soeharto Ditinggalkan Semua Orang Kepercayaan)

Sebagai hasil dari koordinasi tersebut, selanjutnya diputuskan pembagian tugas masing-masing pimpinan komponen.

Brigjen Rukman memimpin operasi pendaratan. Komodor Sudomo memimpin operasi amfibi, Komodor Udara Leo Wattimena memimpin operasi serangan udara, dan Mayjen TNI Soeharto sebagai Panglima Mandala akan memimpin langsung Operasi Jayawijaya.

Tapi Operasi Jayawijaya itu batal dilaksanakan karena pasukan Belanda yang ketakutan bersedia menyerahkan Irian Barat ke RI lewat mediasi yang dilakukan oleh PBB.

Pak Harto pun karier militernya makin bagus karena kemudian menjabat sebagai Pangkostrad dan selanjutnya Presiden RI yang kedua.

Artikel Terkait