Intisari-Online.com -Tersebutlah pada suatu malam, Anita (45), mengalami pendarahan usai melakukan hubungan intim dengan suaminya.
Hal seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya, kecuali pada malam pertama dulu. Seiring itu dia juga mulai mengalami keputihan berulang, vagina berbau, dan tidak bisa sembuh dengan pengobatan biasa.
Setelah memeriksakan diri ke dokter kandungan, diketahui dirinya telah terserang kanker serviks (leher rahim) dalam tahap stadium lanjut (stadium IIIB ke atas).
Tentu saja dia terkejut. Sebab, selama ini, Anita merasa baik-baik saja dan tak ada keluhan berarti di vagina maupun rahimnya.
(Baca juga:Jejak-jejak Jupe Melawan Kanker Serviks: Kadang Dia Stabil namun Kerap Mencemaskan)
Ilustrasi di atas diceritakan oleh dr. Fitriyadi Kusuma, SpOG (K), Konsultan Kanker Kandungan dan Staf Pengajar FKUI Divisi Onkologi Ginekologi di sebuah seminar kesehatan pada akhir Desember 2013.
Menurut dr. Fitriyadi, kanker yang dialami Anita ini dipicu oleh Human Papilloma Virus (HPV) yang menyerang leher rahim. HPV membutuhkan waktu 3-20 tahun untuk menjadi sebuah kanker.
Oleh karena itu, banyak sekali perempuan yang terlambat memeriksakan diri dan akhirnya sekitar 80% pasien yang terdeteksi sudah dalam keadaan stadium lanjut.
Hal yang menyedihkan adalah prevalensi kanker serviks di Indonesia sangat tinggi.
Berdasarkan data Globocan 2012, diperkirakan ada 53 juta perempuan Indonesia yang berisiko mengidap kanker serviks. Setiap harinya, terdapat 20 perempuan meninggal dunia akibat penyakit tersebut.
“Tingginya kasus kanker serviks di Indonesia dipicu oleh beberapa hal seperti faktor geografis Indonesia yang terdiri 13.000 pulau, kurangnya fasilitas sitologi dan terapi, tidak ada program screening, dan yang paling utama minimnya kesadaran untuk memeriksakan diri sejak dini,” ujar dr. Fitriyadi.
IVA = Intip Vagina Aku
Pada stadium awal, nyaris tidak ada keluhan yang dirasakan oleh perempuan yang terserang HPV.
Hal itu membuat mereka enggan memeriksakan diri ke dokter atau puskesmas terdekat guna menjalani deteksi dini kanker serviks.
Lha wong sehat-sehat saja, kenapa harus sampai membuka celana dalam di depan dokter?
Ada juga yang merasa malu karena takut ketahuan pernah berhubungan seks. Maklum, “Mayoritas penularan HPV lewat hubungan badan. Sangat jarang orang yang belum pernah berhubungan seks terkena HPV,” terang dr. Fitriyadi.
Sikap seperti itu tentu saja salah besar. Sebab semua perempuan punya risiko terkena HPV. Bahkan remaja putri pun rentan terkena.
Jika tidak mau secara dini memeriksakan diri secara dini, itu artinya kita berjudi dengan masa depan.
(Baca juga:Saudara Kandungmu Adalah Orang Penting Dalam Hidupmu, Jangan Pernah Lupakan Itu)
Sebenarnya screening untuk mengetahui kita telah terpapar virus HPV atau tidak caranya sederhana, kok. Pertama adalah inspeksi vagina dengan asam asetat atau tes IVA.
Agar mudah diingat, kata Dr. Fitriyadi, sebagian dokter sering memplesetkannya sebagai Intip Vagina Aku (IVA).
Untuk pemeriksaan bisa dilakukan oleh bidan yang sudah mendapat pelatihan IVA.
Caranya dengan memoles mulut rahim menggunakan asam cuka dan dilihat apakah ada kelainan seperti area putih yang terlihat oleh mata pemeriksa.
Biayanya pun murah yakni di kisaran Rp5.000 Metode ini punya akurasi 80%.
Kemudian hasil usapan dipulas kesediaan kaca objek. Setelah diberi pewarnaan khusus sediaan tersebut diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat apakah sel-sel epitel mulut rahim masih dalam batas normal atau sudah mulai ada perubahan.
Pemeriksaan model ini diyakini lebih akurat ketimbang IVA. Agar tidak tertular HPV, kaum hawa disarankan untuk melakukan vaksinasi. Umur ideal untuk melakukannya adalah 9-12 tahun.
Meski demikian, berdasarkan Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), vaksinasi HPV dapat diberikan kepada perempuan sampai usia 55 tahun.
Vaksinasi ini berfungsi untuk memicu kekebalan tubuh sehingga terlindung dari HPV.
Memeriksa sendiri
Meski tes IVA dan pap smear relatif mudah, tetap saja ada sebagian perempuan yang malas melakukannya, entah karena malu ataupun takut.
Tapi jangan cemas, seiring perkembangan teknologi, beberapa negara telah mengaplikasikan metode baru, yaitu menggunakan teknologi pengambilan sampel cairan serviks sendiri (self-sampling).
Metode ini merupakan solusi untuk para perempuan yang enggan melakukan deteksi dini di rumah sakit. Walhasil, dokter jadi terbantu untuk menganjurkan pemeriksaan awal kanker serviks.
Cara kerja metode ini adalah mengambil sampel DNA HPV tanpa perlu menggunakan spekulum dan sikat yang bagi sebagian perempuan sangat menyakitkan pada prosesnya.
Belanda, Finlandia, Italia, Jerman, Malta, Spanyol, Singapura, Malaysia dan Thailand merupakan negara-negara yang telah mengaplikasikan metode ini.
Bahkan, di Belanda, Italia dan Thailand, metode self-sampling akan dimasukkan ke dalam jaminan kesehatan nasional untuk menurunkan jumlah penderita kanker serviks.
Di Indonesia alat untuk melakukan self-sampling juga sudah mulai beredar, meski harus diakui harganya masih cukup mahal yakni di kisaran Rp600 ribu.
Dengan alat tersebut, hasil sampel kemudian diperiksa ke laboratorium yang sudah punya pelayanan untuk self-sampling. Di Jakarta, misalnya di Laboratorium Klinik Pramita.
(Baca juga:Mana yang Lebih Mematikan, Kanker Serviks yang Menyerang Jupe atau Kanker Payudara yang Menyerang Yana Zein?)
Agar mendapat hasil maksimal, disarankan tiap tahun para perempuan melakukan screening atau pemeriksaan dini.
Boleh dengan self-sampling, IVA, ataupun pap smear. Bukankah lebih baik meluangkan waktu sejenak untuk “mengintip vagina” daripada terkena kanker serviks di level stadium lanjut pada masa yang akan datang?