Advertorial
Intisari-Online.com – Sampai awal abad ke-19 Suriname diwarnai bunga-bunga etnis. Penduduk aslinya sendiri, orang Amerindian, ditambah lagi oleh golongan Bush Negro.
Terakhir, orang-orang Eropa dan keturunannya yang mereka namakan orang Kreol. Orang Kreol inilah yang kemudian mendominasi populasi Suriname hingga kini.
Tadinya, Kreol hanya sebutan untuk orang Eropa yang dilahirkan di Amerika Selatan atau India Barat, tapi kemudian berkembang menjadi sebutan untuk orang asing yang dilahirkan di Suriname.
Kemudian kedatangan sekitar 32.000 emigran Jawa di Suriname menjadi tonggak awal lahirnya variasi etnis Jawa di tengah-tengah populasi Suriname yang sudah beraneka itu.
Baca Juga : Tak Hanya Suriname Jejak Peradaban dan Keturunan Indonesia juga Sampai ke Afrika Selatan
Hingga tahun 1972, populasi orang Jawa sudah mencapai 58.863 jiwa (sekitar 13%) dari 348.903 penduduk Suriname.
Dengan jumlah itu, orang Jawa menempati urutan ketiga, setelah India (38%) dan orang Kreol (31%).
Walau demikian, dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa tidak lebih dianggap suku minoritas. Pada saat itu, hanya segelintir orang Jawa di sana yang tahu baca-tulis.
Rasa tertekan ini semakin terasa akibat sikap dan tegur sapa kasar golongan lain yang menganggap orang Jawa bodoh, pandir dan mudah ditipu.
Baca Juga : Orang-orang Jawa di Suriname: Mulai dari Menari Jaran Kepang Sampai Jadi Calon Presiden!
Ini menyebabkan semakin ketatnya kelompok Jawa ke dalam isolasi yang kental sebagai reaksi kelompok minoritas.
Rasa berlainan ras juga timbul dengan sadar dalam diri orang-orang Jawa itu. Pergaulan sesama orang Jawa tetap dipelihara dengan derajat pemakaian bahasa Jawa yang ngoko dan krama.
Slametan, sesajen, pesta tayub, joget, wayang, orkes terbang, ludruk, tetap menjadi titik sentral dalam aktivitas mereka.
Orang Kreol yang suka mengejek orang Jawa, 'digelari' mereka buto, raksasa kasar dan jahat.
Baca Juga : Fakta-fakta Unik tentang Paspor: Kekuatan Paspor Indonesia Setara Suriname, Senegal, Papua Nugini dan Uganda
Sedangkan orang India, yang gigih berdagang dan pelit, digelari Anoman, monyet sakti dari kisah Ramayana atau sebagai manungsa ambune kaya setan, manusia yang baunya seperti setan.
Bukan itu saja. Meski jauh dari Indonesia, orang Jawa Suriname tetap merasa diri bagian dari Indonesia.
Dalam setiap pertemuan, termasuk pesta perkawinan dan sunatan, lagu Indonesia Raya dikumandangkan keras-keras dan bendera merah-putih dikibarkan.
Tidak hanya lewat sosok bendera, bahkan sampai ikat kepala pun dibuat berdwiwarna. Demikian catatan Dr. Yusuf Ismael.
Baca Juga : 10 Perang Terlama dalam Sejarah, Salah Satunya Perang Aceh yang Bikin Belanda Frustasi
Sejarah Suriname
Suriname berasal dari kata Surinamo, yaitu nama sungai di sana yang diberikan oleh penduduk asli Amerindian (Indian Amerika).
Tapi beberapa penulis Inggris ada yang mengklaimnya berasal dari kata Inggris, surrey dan ham, yang kira-kira berarti tanah milik Lord Surrey.
Daerah di pantai utara Amerika Selatan yang luasnya hampir sebesar Pulau Jawa ditambah Madura itu, tadinya-bernama Guyana.
Baca Juga : Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Negeri Dongeng dan Rumah Bahagia bagi Penghuninya
Akibat kolonialisme kemudian terpecah menjadi tiga, Guyana Prancis di Timur, Suriname di Tengah dan Guyana di Barat.
Tanah luas Suriname aslinya milik orang-orang Amerindian dari kelompok suku bangsa Arawak, Carib, Wama, Trio dan Oajana.
Baru pada akhir abad ke-15 Suriname didatangi orang-orang Spanyol dan diklaim sebagai wilayah Spanyol pada tahun 1593.
Pada tahun 1667, orang-orang Belanda di bawah pimpinan Abraham Crynsen datang ke Suriname dan mengusir orang-orang Inggris dan Portugis.
Baca Juga : Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Ternyata Jakarta Sudah Berlangganan Banjir Sejak Dulu Kala
Tahun 1682 wilayah Suriname dihibahkan kepada VOC. Gubernur Belanda di Suriname, Cornelis van Aersen kemudian mendatangkan emigran dari Eropa.
Hasilnya, puluhan keluarga Prancis menetap di Suriname. Tibanya emigran Prancis di Suriname mengakibatkan pemerintah Prancis mulai melirik Suriname.
Namun baru 23 tahun kemudian, yaitu tahun 1712, Prancis berhasil merebut Suriname dari Belanda.
Akibataya timbul kekacauan di perkebunan-perkebunan Suriname. Ini dimanfaatkan oleh para budak Negro untuk melarikan diri kabur masuk hutan.
Baca Juga : Beginilah Gambaran Kehidupan di Pulau Jawa pada Awal Abad 20
Para Negro inilah yang kemudian berhasil mendirikan semacam suku tersendiri, Bush Negro, Negro hutan atau biasa juga disebut Maroon.
Mereka ini sering membuat keributan. Para penguasa Prancis kelabakan menghadapinya.
Akhimya Belanda yang berhasil menundukkan Bush Negro dan memaksa mereka mengakui pemerintahan kolonial Belanda.
Karena VOC sejak tahun 1791 sudah dibubarkan, maka Suriname langsung di bawah kontrol pemerintah pusat Belanda.
Baca Juga : Ratu Belanda Disebut Ningrat yang Paling Merakyat, Ini Asal Mula Julukan Tersebut
Pemerintah kembali membenahi perkebunan-perkebunan Suriname. Budak-budak pun didatangkan lagi, meski sejak 1608 perdagangan budak dinyatakan terlarang.
Walau kemudian Suriname sempat jatuh ke tangan Inggris, tapi kemudian diserahkan kembali kepada Belanda.
Di bawah undang-undang baru Belanda, Suriname dinyatakan sebagai negara koloni Belanda, sehingga ada yang menyebutnya Guyana Belanda.
Di bawah panji negara koloni Belanda ini juga produksi perkebunan di Suriname meningkat dengan pesatnya.
Sejak awal abad ke-19 produknya selain gula juga mencakup kopi, coklat dan nila. (Intisari Oktober 1990)
Baca Juga : Di Tengah Gencatan Senjata, Belanda Hampir Saja Melakukan Agresi Militer Ketiga