Sejarah Hari Guru Nasional, Tribut untuk Ki Hajar Dewantara dan Semua Guru di Indonesia

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Mohammad Yamin berpidato pada HUT PGRI ke-8 pada 1953 yang bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional (Wikipedia Commons)
Mohammad Yamin berpidato pada HUT PGRI ke-8 pada 1953 yang bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional (Wikipedia Commons)

Sejarah Hari Guru Nasional terkait dengan Kongres Guru Indonesia pertama yang lahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) 25 November 1945.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Berbicara tentang sejarah Hari Guru Nasional tak mungkin dilepaskan dari Kongres Guru Indonesia pertama yang diselenggarakan di Surakarta, 24-25 November 1945. Juga tentangmenghargai jasa Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara dan perguruan Taman Siswa yang dia dirikan.

Waktu itu tepat 100 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, persisnya 25 November 1945, terbentuknya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI adalah hasil dari Kongres Guru Indonesia pertama yang diselenggarakan oleh Persatuan Guru Indonesia (PGI).

Sehingga, tanggal 25 Novemberresmi ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional lewat Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1994.

Kenapa tanggal 25 November? Tanggal itu dipilihuntuk menghormati Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi rakyat. Soewardi Soerjaningrat, nama asli Ki Hajar, lahir pada 2 Mei 1889.

Dia bukan hanya seorang pendidik, tetapi juga seorang pemikir, budayawan, dan tokoh pergerakan nasional. Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara mencakup prinsip bahwa pendidikan harus menyentuh aspek holistik individu, tidak hanya aspek kognitif tetapi juga moral, emosional, dan fisik.

Salah satu sumbangsih terbesar Ki Hajar Dewantara adalah mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922. Taman Siswa menjadi lembaga pendidikan yang membuka pintu bagi anak-anak pribumi untuk mendapatkan pendidikan formal.

Semangatnya untuk memajukan pendidikan bangsa menjadi inspirasi utama pemilihan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.

Hari Guru Nasional tak sekadar perayaan seremonial. Lebih dari itu, ini adalah momen refleksi untuk memahami betapa pentingnya peran guru dalam mengarahkan generasi muda menuju masa depan yang lebih baik. Guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, moralitas, dan sikap positif siswa.

Sejarah persatuan guru

Berbicara tentang sejarah persatuan guru-guru, kita tak boleh melupakan keberadaan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang berdiri di Magelang. Organisasi ini berdiri, tepatnya pada 1 Januari 1912, tak lepas semangat nasionalisme yang digaungkan Budi Utomo yang berdiri pada 1908.

Mengutip Kompas.com, PGHB adalah wadah perjuangan para guru pribumi. Anggotanya terdiri ataspara guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Mereka umumnya berasal dari latar pendidikan yang berbeda dan bertugas di Sekolah Desa atau Sekolah Rakyat.

PGHB merupakan organisasi guru pertama di Indonesia yang dibentuk untuk memperjuangkan kesejahteraan guru pribumi yang timpang dibanding guru-guru dari Eropa. Saat itu muncul juga organisasi-organisasi guru lainnya.

Sebut saja Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), Christelijke Onderwijs Vereneging (COV), Katolieke Onderwijsbond (KOB), Vereneging Van Muloleerkrachten (VVM), dan Nederlands Indische Onderwijs Genootschap (NIOG).

Pada 1932, sejalan dengan memuncaknya kesadaran akan cita-cita kemerdekaan, PGHB diubah namanya menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Tapi sayang, saat Jepang berkuasa di Indonesia, organisasi ini tak bisa melakukan aktivitas karena semua organisasi dan sekolah ditutup.

Untung saja proklamasi terjadi tak lama kemudian. Momen itu digunakan untukmenyatukan organisasi-organisasi guru di seluruh Nusantara.

Sebagai upaya tindak lanjutkeinginan untuk menyatukan organisasi-organisasi guru di Indonesia, maka dilaksanakan Kongres Guru Indonesia. Kongres ini digerakaan oleh Amin Singgih dan Rh. Koesnan, yang kemudian dikenal sebagai tokoh pendiri PGRI.

Kongres Guru Indonesia digelar di Surakarta, Jawa Tengah, antara 24-25 November 1945. Hasil dari Kongres Guru Indonesia adalah semua guru sepakat untuk bersatu di dalam organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Tanggal 25 November 1945 menandai hari lahir PGRI. Nama PGRI diberikan oleh utusan dari Jawa Barat yang saat itu tergabung dalam Persatuan Guru Seluruh Priangan (PGSP). Pada awal PGRI terbentuk, tujuan organisasi ini adalah menekankan jiwa patriotisme agar dapat mempertahankan Indonesia.

Meski begitu, dibentuknya PGRI juga punya tujuan umum lainnya:

- Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

- Berperan serta aktif mencapai tujuan nasional dalam mencerdaskan bangsa dan membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

- Berperan serta mengembangkan sistem dan pelaksanaan pendidikan nasional.

- Mempertinggi kesadaran dan sikap guru, meningkatkan mutu dan kemampuan profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya.

- Menjaga, memelihara, memperjuangkan, membela serta meningkatkan harkat martabat guru dan tenaga kependidikan melalui peningkatan kesejahteraan serta soldiaritas anggota.

PGRI sempat pecah jadi dua

Menyusul Kongres PGRI yang pertama, hampir setiap tahun diadakan kongres secara rutin guna membahas berbagai hal. Pada kongresnya yang kesepuluh, tepatnya pada Oktober 1962, PGRI terpecah menjadi dua karena adanya perebutan pengaruh kekuatan anti-PKI dan pro-PKI.

Kubu pro-PKI atau PGRI Non-Vaksentral dipimpin oleh Subandri. Sedangkan kubu nasionalis dipimpin oleh ME Subiadinata. Perpecahan ini terjadi hingga peristiwa G30S, yang mengakibatkan PKI beserta simpatisannya diberantas habis.

Pada 24 November 1994, Pemerintah RI mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Nomor 1994 yang menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru nasional.

Empat tahun kemudian, Kongres PGRI XVIII diselenggarakan di Bandung antara 25-28 November 1998. Hasil kongres ini menyatakan PGRI untuk kembali ke jati diri awal, yakni sebagai organisasi perjuangan, profesi, dan ketenagakerjaan dengan mengedepankan sifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis.

Artikel Terkait