Bisa saja yang satu menganggapnya sebagai beban hidup yang berat (distresor), sedangkan yang lain menganggapnya sebagai tantangan untuk lebih kreatif mencari penghasilan tambahan (eustresor).
Mungkin solusinya bukan dengan meningkatkan penghasilan tambahan, tetapi memangkas kebutuhan. Para ahli perencanaan keuangan berulang-ulang menasihati kita dalam hal ini.
Sangat jamak dijumpai persoalan ekonomi timbul karena ketidakmampuan kita membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want).
Mungkin saja solusinya adalah mengubah mindset tentang batas antara merasa cukup dan merasa kurang.
Jadi, solusi depresi bisa berasal dari perencana keuangan, psikolog, psikiater, cendekiawan, atau teman yang bisa memberikan pencerahan.
Menderita itu subjektif
Bagaimana dengan distresor lain seperti masalah kemacetan di jalan raya? Ini pun masalah klasik di kota besar, terutama di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Baca Juga : Konflik Pernikahan Charles dan Diana: Surat Paksaan Menikah, Depresi Diana, dan Penderitaan Keduanya
Untuk menghadapi distresor klasik semacam ini, mungkin kita bisa memakai nasihat yang juga klasik, yang sering kita baca lewat buku-buku kebajikan klasik.
Kalau memang kita dapat mengubah distresor itu, kita harus mengubahnya. Tapi tidak mampu mengubahnya, kita harus ikhlas menerima apa adanya.
Ini aturan umum dalam menghindari perasaan tertekan atau depresi.
Untuk bisa melakukan itu, pertama-tama kita harus punya kemampuan untuk membedakan mana yang bisa kita ubah dan mana yang tidak.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR