Advertorial
Intisari-Online.com – Secara fisik kita tidak sakit. Secara kejiwaan, rasanya sehat. Benarkah? Belum tentu.
Ketidaksehatan fisik memang mudah diketahui. Tapi gangguan jiwa sering tidak kita rasakan. Rasanya sehat, tetapi sebenarnya tidak. Bagaimana mengetahuinya?
Simak tulisan I Gede Agung Yudana, Sehat Raga Belum Tentu Sehat Jiwa, yang dimuat di Edisi Khusus Mind, Body & Soul terbitan Intisari.
Seorang wanita sebut saja namanya Yenny, terbelalak kaget ketika melihat hasil analisis atas kuesioner yang diisinya dalam sebuah seminar bertema relaksasi.
Baca Juga : Sedang Berjuang Keras Menyimpan Rahasia? Hati-hati, Kesehatan Jiwa Anda Terancam
Hasil kuesioner itu menunjukkan bahwa ia menderita depresi. Artinya secara kejiwaan, ia sebenamya mengalami gangguan. Hah!
Padahal, selama ini, ia merasa sehat-sehat saja. Secara kasatmata pun, orang di sekitarnya menganggapnya tak bermasalah, baik raga maupun jiwa.
Secara ragawi, ia termasuk orang yang jarang sakit. la juga merasa bisa bekerja dengan baik meski tekanan datang bertubi-tubi. Dari atasan ia dihadapkan pada target kerja.
Bawahan menuntutnya untuk memperhatikan nasib mereka. Dalam posisi terjepit itu, ia tetap menjalankan tugas dengan baik dan cukup kreatif.
Tak ada jadwal rutin
Baca Juga : Lima Seniman Kulit Hitam dengan Karyanya Melawan Stigma Kesehatan Jiwa
Yenny hanyalah salah satu individu yang tidak menyadari adanya gangguan jiwa. Barangkali, tanpa kita sadari, kita sendiri juga senasib dengan Yenny. Hanya saja kita cenderung mengabaikan kondisi kejiwaan kita.
Kalau badan dirasa sehat, kita sudah menganggap cukup. Selama kita masih bisa beraktivitas secara normal, kita merasa sehat raga dan jiwa.
Padahal, menurut dr. Wiendarto, Sp.KJ., orang yang secara kasatmata terlihat baik-baik, belum tentu kesehatan jiwanya optimal (dalam batas kewajaran). Jadi masih terdapat kemungkinan kesehatan jiwanya terganggu.
Ketika gangguan jiwa mendera, kita sering tidak tahu. Soalnya, fungsi tahu (insight) kita, yang merupakan salah satu bentuk fungsi jiwa, malah menjadi kurang berfungsi.
Baca Juga : Film-film Ini Bisa Bantu Kita Memahami Kesehatan Jiwa
Memang sedikit aneh. Semakin parah jiwa kita mengalami gangguan, justru semakin kita tidak tahu. Sehingga ketika gangguan jiwanya sudah berat, kita malah tidak menyadari gangguan itu.
Ini pula yang membedakannya dengan sakit badan. Saat fisik kita sakit, kemampuan tahunya tidak terganggu, sehingga makin sakit kita makin tahu bahwa badan kita sedang sakit.
Kepala UPF Anak dan Remaja RS Marzuki Mahdi (dahulu dikenal sebagai RSJ Cilendek) Bogor, itu juga mengungkapkan, orang enggan mengunjungi psikiater akibat adanya stigma negatif bahwa orang yang datang ke dokter jiwa adalah penderita gangguan jiwa berat.
Padahal, psikiater menangani pasien dengan gangguan jiwa yang gradatif, dari ringan hingga berat.
Baca Juga : Pawiyatan Luhur, Museum Kesehatan Jiwa di Kota Magelang
Data pun menunjukkan, jumlah orang dengan gangguan jiwa berat sebenarnya jauh lebih sedikit ketimbang yang mengalami gangguan jiwa ringan.
Wiendarto berharap stigma itu akan semakin berkurang karena di Indonesia stigma itu terasa masih sangat nyata. Akibatnya orang baru mencari psikiater apabila penyakitnya sudah berjalan agak lama dan cenderung lambat.
"Dengan berkurangnya stigma buruk itu diharapkan lebih banyak orang yang akan mencari psikiater, tanpa rasa malu. Maka ia akan mendapat pengobatan lebih dini dengan hasil lebih baik," tutur Wiendarto.
Berbeda dengan pemeriksaan fisik, dalam pemeriksaan jiwa ini tidak ada jadwal pemeriksaan rutin. Gangguan jiwa memang tidak bisa diukur dalam angka, seperti pada pemeriksaan laboratorium.
Baca Juga : Gempa dan Tsunami Palu Bisa Menimbulkan Trauma Berat bahkan Depresi bagi Korban, Ini Alasannya
Aspek-aspek kejiwaan (pola pikir, perilaku, dan emosi) seseorang juga belum tentu dapat langsung terlihat saat wawancara pertama dengan dokter. Pada pertemuan pertama biasanya pasien menutupi hal-hal yang menjadi masalah utamanya.
Sebaiknya, menurut Wiendarto, kita melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa setiap 1 - 2 tahun sekali. Setidaknya, kita harus segera melakukannya jika kita - atau orang lain di sekitar - melihat keganjilan atau perubahan signifikan dari minimal satu dari tiga aspek kejiwaan kita, yaitu pola pikir, perilaku, atau emosi.
Contoh keganjilan pola pikir adalah ada rasa curiga yang berlebihan, sering merasa diomongin orang, atau sering merasa diperhatikan orang sekitar secara berlebihan. Contoh keganjilan pola perilaku antara lain mandi tiga hari sekali atau sepuluh kali sehari dari yang biasanya dua kali sehari.
Sementara, contoh keganjilan emosi adalah mudah marah atau sering membanting-banting barang, padahal sebelumnya tidak begitu.
Baca Juga : Hindari Depresi dengan Mencintai Hidup Anda Sendiri, Ini 5 Cara Melakukannya!
Secara umum, seseorang dianggap mengalami gangguan jiwa apabila ia memenuhi kriteria dari konsep gangguan jiwa, yakni di dalam dirinya terdapat sindrom (kumpulan gejala) atau perilaku, atau psikologik yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) dalam satu atau lebih fungsi penting dari manusia.
Fungsi penting tersebut meliputi fungsi pekerjaan, sosial, perawatan diri, dan penggunan waktu senggang.
Contohnya, dalam konteks gangguan tidur. Seseorang umumnya memerlukan tidur 6 - 8 jam per hari. Jika ada seseorang yang hanya tidur 4 - 5 jam per hari dan ketika bangun sudah segar, merasa tidurnya cukup, dan dapat melakukan fungsinya dengan optimal, maka ia tidak memerlukan pengobatan.
Namun, bila masa tidur yang singkat itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan fungsinya secara baik, ia sudah dapat dikatakan mengalami gangguan jiwa ringan dan perlu berkonsultasi dengan psikiater.
Baca Juga : Menurut Ahli, Perbedaan Stres dan Depresi Bisa Diketahui Lho
Gangguan jiwa bisa muncul bila ada stresor. Intensitas stresor bisa beragam, dari yang tinggi tapi berlangsung singkat, seperti bencana alam atau kematian beberapa anggota keluarga sekaligus, sampai yang rendah tapi berlangsung lama, macam pindah rumah atau ganti pekerjaan.
Kedua gangguan tadi bisa menganggu kondisi kejiwaan seseorang sampai meretakkan kepribadian. Mana yang lebih berbahaya, tergantung dari cara mengatasi masalah dan kekuatan jiwa kita.
Ada yang hanya tahan sebulan, meski intensitas stresornya rendah. Tapi ada yang perlu waktu bertahun-tahun untuk membuat kepribadian seseorang yang menerima stresor itu menjadi retak.
Perlu kejujuran
Baca Juga : Benarkah Berenang di Kolam Air Dingin Bisa Mengobati Depresi?
Untuk mengetahui apakah saat ini jiwa kita terganggu atau tidak, tentu tidak bisa hanya berdasarkan pengamatan semata-mata. Apalagi kalau yang mengamati hanya sebatas teman atau saudara, yang memang bukan ahlinya.
Kondisi kesehatan jiwa hanya dapat diketahui lewat serangkaian wawancara dan tes tertentu. Wawancara terbagi atas beberapa bagian, yaitu wawancara awal, utama, dan ujung. Setiap orang berbeda jenis wawancaranya.
Pada wawancara awal, dokter harus membina rapor dulu untuk membina saling percaya. Masalahnya, dalam psikiatri dikenal adanya titik peka pada setiap orang yang membuatnya tidak mau membuka persoalannya secara langsung.
Setelah itu tercapai, barulah dilakukan wawancara pokok. "Hasil wawancara sangat tergantung dari keterbukaan si pasien," tambah dr. Wiendarto.
Baca Juga : Sering Memicu Keinginan Bunuh Diri, Ini Gejala Depresi yang Harus Anda Perhatikan
Bila diperlukan, dokter juga akan memberikan tes seperti Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) atau Hamilton Depression Rating Skill (HDRS).
Tes tersebut berupa kuesioner yang mesti dijawab dan diisi oleh orang yang dites. Hasilnya, digunakan dokter untuk melengkapi wawancara dalam menentukan kondisi kejiwaan seseorang pada saat itu.
Terkadang, langkah pengujian itu belum cukup. Dokter masih memerlukan wawancara tambahan terhadap orang-orang yang tinggal di dekat pasien. Pada tahap ini diperlukan kejujuran orang yang diperiksa, baik penderita maupun orang yang tinggal dekat dengannya, agar hasilnya dapat dikurangi.
Tapi biarpun jawabannya tidak jujur, dokter yang berpengalaman biasanya akan mengetahuinya. Nah, setelah serangkaian pemeriksaan tadi dilakukan, baru dokter mengetahui kondisi kesehatan jiwa kita sesungguhnya.
Baca Juga : Ingin Lawan Depresi? Begini Caranya! Mudah dan Tanpa Obat-obatan
Dilihat dari tingkatan dan ragamnya, gangguan jiwa sebenarnya sangat banyak. Tapi secara umum bisa dibedakan atas dua kelompok, yakni gangguan neurotik dan gangguan psikotik.
Kelompok gangguan neurotik biasanya ditandai adanya peningkatan kecemasan. Sedangkan kelompok gangguan psikotik ditandai hilangnya kemampuan seseorang dalam membedakan antara realita dan fantasi.
Selain itu terdapat kelompok gangguan jiwa lain, seperti gangguan mental organik, gangguan alam perasaan (afektif), gangguan kepribadian, psikoseksual, penggunaan zat, stres pascatrauma, gangguan penyesuaian, pengendalian impuls, gangguan psikosomatik, dan gangguan tidur.
"Kelompok gangguan neurotik termasuk gangguan jiwa ringan. Tapi masalah gangguan jiwa tersebut bisa menjadi berat bila proses perjalanan penyakitnya berlanjut. Contohnya, depresi. Bila depresi berlanjut, ia bisa menjadi depresi dengan ciri psikotik, seperti ditemukan adanya halusinasi pada penderitanya.
Baca Juga : Penderitaan Tak Akan Bertahan Selamanya, Inilah 7 Obat Depresi yang Jarang Diketahui Orang
Gangguan psikotik sendiri merupakan kelompok gangguan jiwa tersendiri yang ujung-ujungnya adalah skizofrenia. Pada skizofrenia terdapat penurunan fungsi penting manusia," jelas Wiendarto.
"Gangguan jiwa" masih bisa ditolerir apabila kadarnya masih sangat ringan. Kadang kita sering menyebut orang semacam itu sebagai orang "eksentrik". Jika Anda pernah melihat seseorang yang perilakunya agak aneh, itulah yang disebut eksentrik.
Namun, ia masih belum memenuhi kriteria konsep gangguan jiwa yang berlaku secara umum tadi.
"Selama dia masih bisa bekerja, merawat diri, tidak ada hendaya, ya kita anggap sebagai keunikan manusia," kata Wiendarto. "Soalnya, dalam ilmu kedokteran jiwa ini tidak bisa dibedakan hitam dan putih secara kaku. Selama tidak mengganggu fungsi dan tidak menimbulkan penderitaan, ya masih oke-oke saja."
Baca Juga : Karyawan yang Depresi Sebenarnya Lebih Produktif Jika Mau Melakukan Hal Ini, tapi Juga Ada Syaratnya
Seseorang dengan "gangguan jiwa" yang sangat ringan masih bisa menjalankan aktivitas sehari- harinya. Kondisi seperti itu bisa saja tidak mengganggu karier, rumah tangga atau kehidupan sosialnya, walau orang-orang di sekitarnya menganggapnya sedikit di luar kewajaran.
Bahkan, dalam kondisi seperti ini, bisa saja orang tersebut memiliki prestasi baik. Misalnya gangguan afektif yang biasanya berkaitan dengan rasa percaya diri yang berlebihan atau kurang, yang bisa merugikan dirinya atau orang lain.
Contohnya, apabila ada seseorang mempunyai rasa percaya diri yang lebih tinggi dari rata-rata, namun masih dalam batas normal yang tidak merugikan dirinya atau orang lain, maka ia bisa saja berprestasi baik.
Ada dua cara terapi yang digunakan dalam menangani gangguan jiwa, yakni pemberian obat dan psikoterapi. "Pada gangguan jiwa yang ringan, terapinya terkadang cukup dengan psikoterapi. Tetapi masa penyembuhannya diharapkan bisa lebih cepat bila penderita diberi obat yang bersifat temporer.
Baca Juga : Berdasar Riset, Bali Masuk Peringkat Empat Jumlah Penderita Gangguan Jiwa Berat di Indonesia
Sementara, pada gangguan yang berat dokter harus memberikan obat yang biasanya berjangka panjang," jelas Wiendarto.
Penataiaksanaan gangguan jiwa ringan hingga berat biasanya bersifat individual. Soalnya, untuk gangguan jiwa yang sama, stresor yang diterima masing-masing penderita bisa berbeda.
Selain itu, peran aktif si penderita dalam menjalani terapi juga ikut menentukan hasil terapi.
Nah, sebelum dibuat terbelalak seperti Yenny, tak ada salahnya bila memeriksakan kesehatan jiwa kita, meski kita merasa sehat. Soalnya, di dalam badan yang sehat belum tentu terdapat jiwa yang sehat.