Intisari-Online.com - Kisah kepahlawanan saat gempa Donggala Sulteng muncul tepat saat gempa mengguncang.
Adalah Anthonius Gunawan Agung, Air Traffic Controller (ATC) harus mengorbankan nyawanya karena memilih tetap berada di Tower ATC Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu, meski tower sudah berguncang hebat.
Anthonius diketahui ingin memastikan pesawat Batik Air yang sedang dipandunya untuk lepas landas benar-benar telah terbang dengan aman.
Hal ini disampaikan oleh Yohanes Sirait, Manager Humas AirNav Indonesia yang menyatakan bahwa salah satu personel layanan navigasi penerbangan cabang Palu, yaitu Anthonius Gunawan Agung, Air Traffic Controller (ATC), tewas saat terjadi gempa.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Inilah Tsunami Terburuk Sepanjang Sejarah
Yohanes menjelaskan, Anthonius merupakan ATC on duty pada Tower ATC Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu, pada saat terjadi guncangan gempa dengan skala 7,7 SR yang berpusat di Kabupaten Donggala pada Jum’at (28/09).
"Saat gempa terjadi, beliau telah memberikan clearing kepada penerbangan Batik Air untuk lepas landas dan menunggu pesawat tersebut airbrone dengan selamat sebelum akhirnya meninggalkan cabin tower ATC," ujarnya.
"Duka yang begitu mendalam kami rasakan, semoga tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa diberikan kepada salah satu keluarga kami dan korban-korban lain akibat gempa di Kabupaten Donggala," katanya.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Benarkah Hewan Mampu Memprediksi Terjadinya Gempa?
Kisah dramatis Batik Air
Sementara pesawat Batik Air, yang berhasil dipandu oleh Anthonius untuk dapat terbang dengan selamat meski lepas landas saat gempa mengguncang dengan hebat, memiliki kisahnya sendiri.
Momen dramatis tersebut disampaikan oleh Capt. Ricosetta Mafella, pilot penerbangan Batik Air penerbangan ID6231.
Pesawat Airbus A320 yang diawakinya tinggal landas (takeoff) saat gempa bumi melanda Palu pada Jumat (28/9/2018) petang lalu, sebelum menara ATC bandara roboh.
Source | : | Kompas.com,tribunnew.com |
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR