Intisari-Online.com - Untuk memenangkan peperangan para penguasa kadang menempuh segala cara yang tidak berperikemanusian seperti menggunakan senjata kimia.
Dalam Perang Dunia I misalnya, ketika pasukan Prancis yang bertempur melawan pasukan Jerman terjebak dalam pertempuran parit (trench war) yang berlatut-larut kedua pihak merasa frustrasi.
Tidak ada kemajuan dalam pertempuran brutal yang berlangsung berbulan-bulan itu. Karena merasa makin frustrasi para petinggi militer Jerman akhirnya mengunakan senjata kimia.
(Baca juga: Bom Saraf Tewaskan Puluhan Anak di Suriah, Pihak yang Bertikai Justru Saling Melempar Tuding)
Senjata pemusnah massal dalam bentuk gas klor itu dicampur dalam bom dan peluru mortir. Akibatnya sekitar 90 ribu pasukan Prancis dan sekutunya tewas.
Dalam Perang Dunia II pasukan Nazi Jerman dan Jepang juga menggunakan senjata kimia. Militer Nazi menggunakannya untuk membunuhi orang-orang Yahudi. Sebaliknya pasukan Jepang banyak menggunakan senjata kimia ketika berkuasa di China.
Prinsip para pemimpin Nazi atau Jepang saat itu saat menggunakan senjata kimia memang bukan frustasi tapi agar bisa membunuh sebanyak mungkin orang dengan biaya murah.
Para petinggi Nazi misalnya, mereka menciptakan bangunan-bangunan tertutup berisi gas beracun di sejumlah kamp konsentrasi. Tujuannya untuk membunuh orang-orang Yahudi sebanyak mungkin agar bisa menghemat peluru.
Dalam Perang Vietnam, pasukan AS yang keteteran melawan pasukan Vietnam Utara (Vietcong) juga menggunakan senjata kimia berupa hujan kuning.
Senjata kimia yang ditujuan untuk melemahkan pasukan Vietcong itu memang tidak langsung membunuh. Tapi ribuan warga sipil terutama wanita dan anak-anak ikut jadi korban.
Bulan Maret 1988 pemimpin Irak Saddam Hussein yang sudah frustrasi menghadapi gerilyawan Kurdi juga menggunakan senjata kimia. Akibatnya dalam serangan senjata kimia di Halabja, Irak sekitar 5.000 orang Kurdi tewas.
Kendati senjata kimia, melalui Protokol Jenewa tahun 1925, sudah dilarang tapi penggunaan senjata kimia dalam perang ternyata sulit dicegah.
Penulis | : | Agustinus Winardi |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR