Rupanya sipir itu bukan hanya memeriksa kantong mr. Amir Syarifuddin, tetapi sampai ke badan-badannya dipegang oleh sipir tersebut, yang karuan saja membuat Amir marah dan menampar tangan sipir itu dengan kata-kata; "Kurangajar, kau kira aku gadis yang perlu kau pegang-pegang!"
Dengan muka merah sipir itu hanya menanyai: "Nomor stambuk". Dijawab oleh Amir, sekian. "Nama?", tanya sipir itu melanjutnya. "Mr. Amir Syarifuddin", jawab yang bersangkutan. Sang sipir rupanya menyangka bahwa Meester yang disebut oleh Mr. Amir itu merupakan nama (bukan titel), maka ditulisnyalah dengan nama penuh.
Baca juga: 4 Orang Ini Ternyata Punya Peran Besar dalam Kemerdekaan Indonesia
Karena kejadian itu maka teganglah suasana, mulai dari kamar kerja sampai kami diantar mandi dan kemudian terus ke ruang makan. Tiba di ruang makan itu di kala kami mulai bersantap, sang sipir menemui kawannya, seorang sipir yang lebih tua, dan menceritakan semua kejadian tadi.
Tapi kami sempat mendengar jawaban kawannya itu: "Kau salah tulis, meesternya itu bukan nama, tapi "Meester in the Rechten", jadi ia lebih tahu peraturan daripada kita. Jangan-jangan direktur pun kalau berhadapan dengan dia akan segan juga. Maafkan sajalah!". Sampai di situlah masalahnya.
Pada suatu waktu afdeling politik disuruh "mengurai" daun sisal, karena pekerjaan membuat buku, stoknya sedang kosong.
Pekerjaan itu sebenarnya tidak menjadi soal, tapi datang perintah harus siap 200 gram seorang setiap hari, sehingga membuat kami menjadi jengkel karena seolah-olah ada paksaan. Kami memajukan protes dan mengutus Yusuf Yahya sebagai wakil kami menemui direktur penjara.
Baca juga: Festival Teluk Humboldt, Cara Warga Jayapura Sambut Hari Kemerdekaan Indonesia
Tapi yang diterima Yusuf Yahya ialah kata-kata: "Hier ben ik heer en meester, weet je, geen Ketua en geen Utusan" (Di sini saya yang berkuasa, tahu, tidak ada ketua dan utusan).
Karuan saja kami pun berusaha untuk mengirim surat secara "illegal" keluar penjara. Kurang lebih 10 hari kemudian sdr. Yusuf Yahya dipanggil oleh direktur. Ia ditanya, mengapa sampai persoalan yang kecil itu ke parlemen Negeri Belanda?
Tentu saja Yusuf hanya angkat bahu membalas emosi sang direktur yang dilampiaskannya beberapa hari yang lalu kepadanya. Belakangan kami ketahui bahwa segala kejadian yang menyangkut afdeling politik di penjara Sukamiskin dilaporkan Yusuf kepada "sahabatnya", seorang anak perempuan dari salah seorang anggota Parlemen di Negeri Belanda.
Anggota Twede Kamer ini hanya sepintas lalu mengirim surat kepada direktur penjara Sukamiskin. Tetapi surat itu pun telah membuat sang direktur panas dingin, apalagi ia tahu ia berhadapan dengan Belanda totok.
Baca juga: Potret Perjuangan Pasukan Oranye: Berjibaku Dengan Sampah, Demi Kali Jakarta yang Indah
Waktu kami di penjara itu, dimasukkanlah 45 orang Belanda totok yang terlibat dalam pemberontakan kapal "Zeven Provinden" yang dipimpin oleh Kawilarang.
Mereka ini ditempatkan di Sukamiskin sambil menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke Negeri Belanda.
Keesokan harinya, ketika baru saja mereka mau disuruh bekerja di bagian percetakan, sudah terjadi keributan karena mereka tidak mau berada di bawah perintah Belanda-Indo, padahal sudah lama percetakan itu dipimpin oleh seorang narapidana Belanda-Indo yang mendapat hukuman lama.
Namun karena Belanda totok pada masa itu merasa "superior", maka pemberontak Zeven Provincien itu tidak mau bekerja. Sehingga direktur terpaksa turun tangan. Ia mengancam setiap pembangkang akan dimasukkan ke dalam sel dan mendapat makanan kering.
Baca juga: Beratnya Perjuangan Paramedis di Gaza: Dari Evakuasi Korban Hingga Jadi Target Tembakan
Tahanan Zeven Provincien itu ada yang mau dan ada yang betul-betul tidak kenal damai sehingga penuhlah kamar sel yang jumlahnya hanya delapan buah itu. Mereka tetap menganggap hina bekerja di bawah perintah seorang Belanda Indo.
Mereka itu setiap berbaris menuju ke kamar kerja selalu melagukan Indonesia Raya, tanpa ada sipir yang berani melarangnya.
Untunglah tidak lama dalam tahanan Sukamiskin, mereka pun dikirim ke Negeri Belanda untuk dihadapkan ke pengadilan di sana.
Baca juga: Dihukum Seumur Hidup, Remaja 18 Tahun Ini Jadi Wanita Termuda yang Dipenjara dalam Kasus Terorisme
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR