Namun, yang paling meninggalkan kesan bagi Mangunwijaya adalah masa sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. Sekolah yang dianggapnya bagai firdaus itu, menurut ceritanya, tidak hanya memberikan pelajaran intelektual melulu kepada murid.
Murid juga mendapat pelajaran lain seperti: pidato, mengarang, menyanyi, main drama, dsb. Murid-murid dididik untuk mempunyai horizon yang luas.
"Pokoknya saya pernah mengalami apa yang dinamakan pengajaran, pendidikan dan kebudayaan," katanya. "Depdikbud itu sungguh-sungguh masuk."
Sayangnya masa yang menyenangkan itu dirusak dengan datangnya Jepang. Sebagai anak kecil, Mangunwijaya merasa shock juga menghadapi situasi yang tiba-tiba terbalik sama sekali itu. Kelaparan di mana-mana dan sekolah-sekolah ditutup.
Ketika akhirnya Mangunwijaya berhasil menamatkan sekolah dasarnya di Magelang, ia lalu pindah ke Semarang dan di sana masuk ke sekolah teknik. Kemudian ia pindah lagi ke Yogyakarta.
Di sini ia bersekolah di dua tempat. Pagi ia meneruskan sekolah tekniknya, di Sekolah Teknik Mataram, sore ia bersekolah di Sekolah Menengah AMKRI. Tak lama kemudian, pencahlah perang revolusi kemerdekaan. Sekolah-sekolah pun ditutup.
Baca juga: Luar Biasa! Seperti Pesulap, Arsitek Ini Buat Bangun Sebuah Bangunan Melayang
Pelajar-pelajar sekolah menengah waktu itu dimobilisasi dan dimasukkan ke Benteng Vredeburg. "Itulah tangsi saya yang pertama. Saya ikut perang sampai sekolah dibuka kembali," ceritanya. "Hampir satu tahun saya, istilahnya, ikut main koboi-koboian."
Naik ke kelas dua, perang pecah lagi. Sekolahnya kembali berhenti. Setelah itu Mangunwijaya pindah ke Magelang dan masuk sekolah negeri pertama yang baru dibuka. Tapi belum sempat ikut ujian akhir, perang lagi. Selesai perang ia pergi ke Malang dan menamatkan sekolah menengahnya di SMA Albertus.
Selama masa revolusi itu Mangunwijaya masuk Batalyon X sebagai anggota pasukan Zeni. Komandannya waktu itu Mayor Soeharto (kini Presiden RI). Mangunwijaya sempat ikut dalam pertempuran di Magelang dan Ambarawa.
Selesai perang Mangunwijaya yang sejak kecil bercita-cita ingin belajar arsitek, berniat mendaftar ke ITB, yang waktu itu baru saja membuka jurusan arsitektur. Namun, datanglah ilham itu, lewat pidato bekas komandan TRIP, yang membuatnya berbelok arah masuk seminari. (Intisari Desember 1985)
Baca juga: Rumah Panggung, Kekayaan Arsitektur Indonesia yang Penuh dengan Makna SImbolis dan Filosofis
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR