Advertorial

Tsunami, 'Anak Bungsu' Gempa Bumi yang Lahir Sebagai Pembawa Bencana, Ini Dua Pertandanya

Agustinus Winardi
Agustinus Winardi
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Ada dua gejala alam yang sebenarnya bisa dijadikan pertanda atau memprediksi akan datangnya bencana tsunami.
Ada dua gejala alam yang sebenarnya bisa dijadikan pertanda atau memprediksi akan datangnya bencana tsunami.

Intisari-Online.com -Bak makhluk hidup, gempa punya anak-anak. Mereka adalah tanah longsor, tanah merekah, hingga tsunami.

Jika kedua anak pertama mudah muncul tak lama setelah sang induk mengguncang, lain dengan si bungsu. Tsunami baru 'lahir' dan menyerang jika sejumlah syarat terpenuhi.

Tsu berarti pelabuhan, sementara nami berarti gelombang. Dalam khasanah kata-kata Jepang, tsunami berarti gelombang laut mahadahsyat yang menghantam pelabuhan atau dataran di Jepang.

Karena ombak raksasa ini juga pernah menerjang beberapa wilayah di dunia, nama ini pun populer di seantero dunia.

Baca juga:Sudah Diramal Sejak Zaman Aristotles, Datangnya Gempa Bumi Memang Tidak Bisa Diperkirakan

Sejak tahun 1600-an Sebelum Masehi konon sudah 2.000-an kali tsunami menyerang berbagai pantai di berbagai negara.

Pangkal penyebabnya adalah rekahan di dasar laut. Bisa oleh karena penunjaman atau subduksi lempeng, pergerakan patahan, letusan gunung api di dasar laut, dan tumbukan benda ruang angkasa.

Untuk bisa menimbulkan tsunami, rekahan ini harus sangat lebar dan panjang.

Intinya adalah ketika rekahan dasar laut itu tiba-tiba terjadi, air laut dalam volume besar akan tersedot ke dasar rekahan.

Baca juga:UPDATE: Gempa di Lombok 7,0 SR, BMKG Cabut Peringatan Dini Potensi Tsunami

Namun, karena permukaan laut akan segera menemui ketinggian normalnya kembali, air di sekitarnya dalam volume besar akan mengisi penurunan permukaan tersebut.

Proses harmonisasi kembali secara tiba-tiba itulah yang menciptakan efek gelombang ekstrem yang biasa disebut tsunami.

Jika rekahan itu terjadi dekat daratan, akibatnya tentu bisa dibayangkan.

Seperti yang terjadi di Aceh (26 Desember 2004) dan Pesisir Pangandaran-Kebumen, selatan Jawa (17 Juli 2006), dalam sekejap tsunami akan melibas daratan di sekitarnya.

Baca juga:Gempa Lombok NTB Berpotensi Tsunami: Inilah Tsunami Terburuk Sepanjang Sejarah

Kekuatannya sanggup menjebol bangunan atau benda apa saja yang merintanginya.

Kecepatannya masih sulit diantisipasi karena bisa mencapai 970 km/jam atau setara dengan kecepatan pesawat jet Boeing B747!

Dua gejala alam yang sebenarnya bisa dijadikan pratanda. Pertama, surutnya muka air pantai secara drastis.

Penyurutan ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan meter. Karang-karang sontak bermunculan dan ikan-ikan bergeleparan kehilangan tempat hidupnya.

Kedua, yang belakangan disimak saksi peristiwa tsunami Pangandaran, Jawa Barat (Senin, 17/7/2006), adalah munculnya suara dentuman keras dari arah laut disertai menyeruaknya kabut (semacam awan) yang memanjang ke atas.

Dentuman ini tak selalu ada, namun dimungkinkan oleh efek rekahan yang dahsyat.

Pratanda kedua bersifat memperkuat yang pertama. Jika pratanda seperti ini muncul, larilah segera menjauh ke tempat yang lebih tinggi.

Penyurutan ini dalam beberapa menit akan terisi lagi oleh air dalam volume besar.

Air biasa meluber ke daratan dan menjalar hingga hingga ratusan meter, menerjang apa saja dan setelah mencapai titik maksimal akan berbalik lagi ke laut.

Jadi. Seperti juga gempa, tsunami pun sesungguhnya peristiwa yang alamiah saja.

Namun demikian, tidak semua gempa di dasar laut bisa menghasilkan tsunami.

Tsunami baru dimungkinkan muncul rekahan yang terjadi menimbulkan gempa berkekuatan minimal 5 Skala Richter.

(Sumber : Gempa Jogja, Indonesia, & Dunia, Edisi Khusus Majalah Angkasa, PT Mediarona Dirgantara.2006)

Baca juga:Taekwondo Berujung Maut, Sedang Rayakan Kemenangan, Anak Ini Tak Sadar Lawannya Telah Tewas

Artikel Terkait