Advertorial
Intisari-Online.com –Hari ini, Rabu (1/8/2018) adalah hari yang membahagiakan bagi keluarga besar Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebab putri Jokowi, Kahiyang Ayu, baru saja melahirkan anak pertamanya melaluioperasi caesar di Rumah Sakit YPK Mandiri, Menteng, Jakarta.
Bayi perempuan tersebut lahir sehat dengan bobot 3,4 gram dan panjang 49 cm.
"Alhamdulillah, pukul 05.50 WIB tadi telah lahir anak Bobby dan Kahiyang," ujar Jokowi dalam jumpa pers di Rumah Sakit seusai menemani proses kelahiran Kahiyang.
Baca juga:Lewat Operasi Caesar, Kahiyang Ayu Lahirkan Anak Perempuan, Cucu Kedua Jokowi
Tentu saja kabar ini sangat membahagiakan. Tapi tahukah Anda, alih-alih bahagia, tangisan seorang ibu usai melahirkan malah mengisyaratkan kesedihan?
Namun ada kalanya, sebagian perempuan yang justru tampak sebaliknya.
Selama rentang waktu satu minggu pasca melahirkan, para perempuan ini tampak murung, cemas, takut, dan acap menangis tanpa sebab.
Anehnya, ada pula sebagian perempuan yang enggan menyentuh bayinya dan cenderung mengabaikan sang buah hati.
Awalnya ia hanya mengganggap bahwa perilakunya yang janggal itu sebagai dampak sifat moodynya.
Tapi, jawaban terkuak saat akhirnya ia berkonsultasi ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi dan kesehatan jiwa. Ia divonis terkena baby blues syndrome.
Dokter Fakriantini Jayaputri, Sp.OG, spesialis Obstetri dan Ginekologi di RS Puri Cinere, Depok, menyatakan bahwa baby blues syndrome merupakan reaksi emosional pada perempuan setelah persalinan.
“Sindrom pascapersalinan ini biasa terjadi dan dialami pada hampir 50% ibu baru,” tutur Fakriantini. Bahkan mengacu pada hasil seminar para ahli kandungan se-Indonesia, 50-70% ibu di Indonesia mengalami baby blues syndrome setelah persalinan.
Baca juga: Kahiyang Ayu Melahirkan: Ini Kisaran Biaya Operasi Caesar di RSIA YPK Mandiri
Penyebabnya multifaktor
Tak bisa dipungkiri, kelahiran anak - terlebih anak pertama – akan mengubah kehidupan seorang perempuan. Kini ia telah menjadi orangtua.
Segala perubahan yang terjadi selama proses itu menjadi salah satu pengalaman paling tak terlupakan, khususnya bagi perempuan.
Namun, ada paradoks yang harus dialami oleh ibu.
Proses panjang mulai dari kehamilan hingga kelahiran, entah anak pertama maupun anak berikutnya, selalu merupakan proses melelahkan yang akan menguras energi ibu.
Di sisi lain, ketika ibu sudah sangat lelah usai melahirkan, ia tetap harus bisa tersenyum bahagia – setidaknya di hadapan orangtua atau mertua.
Belum lagi saat dihadapkan pada kondisi bahwa ibu harus siap menyusui, mengganti popok, dan terbangun tengah malam untuk meredam tangis si kecil.
Ketidaksiapan ibu terhadap semua kondisi ini bisa menjadi salah satu faktor penyebab baby blues syndrome.
“Ibu perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di dalam diri dan lingkungannya. Ini adalah masa penyesuaian,” ujar Yapina Widyawati, S.Psi, M.Psi., dosen psikologi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Ada banyak situasi dan tanggung jawab baru yang harus dihadapi ibu.
Meskipun sindrom ini tampak muncul alami, Yapina mengingatkan bahwa masing-masing orang memiliki tingkat ketahanan yang berbeda-beda terhadap tekanan. Ada yang menganggap segala perubahan itu sebagai hal yang biasa saja, tapi ada pula yang sangat menghayatinya sehingga berdampak buruk bagi dirinya sendiri.
“Rasa yang dialami boleh saja sama, tapi cara mengatasinya bisa berbeda. Misalnya pada orang yang sensitif,” imbuh Yapina.
Sering PMS peluangnya besar
Adanya trauma psikologis yang berkaitan dengan kehamilan sebelumnya juga diyakini dr. Fakriantinini Jayaputri, Sp.OG., bisa menjadi faktor penyebab munculnya baby blues syndrome.
Misalnya saja, rasa sakit yang berlebihan, juga persalinan yang lama dan panjang.
Selain itu, tambah Fakriantini, perubahan hormonal di dalam tubuh si ibu juga berpengaruh. Setelah masa persalinan, kadar hormon kortisol atau hormon pemicu stres pada tubuh ibu naik hingga mendekati kadar orang yang sedang mengalami depresi.
Pada saat yang sama, hormon prolaktin yang memicu produksi ASI sedang meningkat, sedangkan kadar progesteron dan oksitosin sangatlah rendah.
“Pertemuan hormon tersebut akan menimbulkan keletihan fisik pada ibu sehingga memicu depresi,” jelas Fakriantini.
Beberapa enelitian tentang baby blues syndrome juga menunjukkan bahwa sindrom ini lebih sering terjadi pada perempuan yang sering mengalami masalah gangguan mood pada saat menstruasi atau menjelang menstruasi (premenstrual dysphoric disorder atau premenstrual syndrome).
Pemberian ASI pun berpengaruh. Ibu yang lebih memilih memberikan ASI ketimbang susu formula/botol untuk bayinya ternyata memiliki kemungkinan depresi yang lebih rendah.
Penelitian yang dilakukan E.S. Mezzaca dari Columbia University dan Robert M. Kelsey dan Edward S. Katkin dari The University of Tennessee Health Science Center, Amerika, misalnya.
Secara bergantian, peneliti mengukur tingkat stres ibu; saat menyusui dan menggunakan botol/susu formula. Peneliti menemukan bahwa menyusui dapat menurunkan mood negatif, sedangkan penggunaan botol akan mengurangi mood positif pada ibu yang sama.
Hubungan pernikahan yang buruk, rendahnya status sosial ekonomi, orangtua tunggal, atau kehamilan yang tidak diinginkan juga bisa menjadi serentetan penyebab baby blues syndrome.
Dokter Andri, Sp.KJ., spesialis Kedokteran Jiwa di Omni Hospital Alam Sutera Serpong, Tangerang, menambahkan, faktor sosial menjadi perhatian pada banyak kasus. “Kebanyakan kasus yang saya tangani dilatarbelakangi oleh dukungan yang tidak baik dari keluarganya, terutama pasangan,” ungkap Andri.
Baca juga: Jangan Pernah Membandingkan Keduanya, Ibu yang Melahirkan Secara Sesar Jugalah Seorang Pahlawan
Suami bisa membantu
Untuk meminimalisasi terjadinya sindrom pascamelahirkan, sebaiknya calon ibu membekali diri, jauh sebelum waktu melahirkan tiba.
Persiapan bisa dimulai dengan memahami tentang perubahan diri selama kehamilan (baik fisik maupun psikis), proses melahirkan, hingga cara mengasuh bayi.
“Pendampingan suami selama kehamilan dan persalinan juga dapat mengurangi rasa ketidaknyamanan dan ketidakpastian pada ibu,” kata dr. Yudianto B.S., Sp.OG, spesialis Obstetri dan Ginekologi di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Soal menyusui, misalnya. Kini beberapa rumah sakit telah menyediakan klinik laktasi. Atau, Anda juga bisa memperbarui wawasan seputar ASI dengan mengikuti kelas edukasi yang rutin digelar oleh Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).
Asupan informasi yang benar mengenai menyusui tidak akan membuat Anda bingung dan frustrasi ketika waktu menyusui Anda telah tiba.
Yudianto menuturkan, rentang satu minggu pascamelahirkan dinilai menjadi momen yang krusial untuk menganalisis: apakah Anda terkena baby blues syndrome atau tidak? Untuk itu, sebaiknya Anda mengatakan yang sejujurnya saat kontrol perdana ke dokter.
“Kebanyakan ibu datang dengan wajah yang sumringah dan mengaku tidak memiliki masalah seputar dirinya. Padahal setelah digali lebih dalam, dia mengalami baby blue syndrome.”
Semakin cepat Anda menyadari bahwa diri Anda terkena sindrom pascamelahirkan, semakin cepat pula Anda bisa memperbaiki hubungan Anda dengan si kecil.
“Kalau ibu stres, asupan nutrisi untuk anak juga akan berkurang, karena ibu tidak mau menyusui, misalnya,” tutur Yudianto.
Tentu Anda tidak ingin bayi Anda tidak tumbuh dengan sehat, ‘kan?
(Arif Sugiyanto memaparkannya di Majalah Intisari Extra 1001 Solusi untuk Keluarga Muda 2013)
Baca juga: Bolak-balik ke Toilet Saat Ujian SBMPTN, Ternyata Siswi 18 Tahun Ini Melahirkan di Dalam Toilet