Intisari-Online.com -Kasus korupsi e-KTP mulai membuat Presiden Joko Widodo gerah. Sabtu (11/3) kemarin, dalam sebuah acara di bilangan Kemayoran, Jakarta, dengan nyinyir ia bilang, duit 6 triliun kok hanya untuk sebuah KTP yang tadinya kertas jadi berplastik.
Ia juga menyebut bahwa korupsi itu membuat semuanya menjadi ragu-ragu. “Kemendagri sekarang ini semuanya juga ragu-ragu, resah melakukan sesuatu, karena juga takut. Supaya diketahui, (pejabat) Kemendagri yang dipanggil ke KPK itu ada 23. Bolak-balik, bolak balik,” ujar Jokowi, dilansir dari Serambi Indonesia.
(Korupsi E-KTP: Gaji DPR Sebulan Setara Gaji 18 Bulan Pasukan Oranye, Kok Masih Korupsi)
Maka, tidak heran jika pelaksanaan program e-KTP sedikit terhambat. Salah satu persoalan e-KTP yang paling membuat masyarakat resah adalah kekurangan blangko. “Sekarang jadi bubrah (kacau) semua gara-gara anggaran (pengadaan e-KTP) dikorup,” ujar Jokowi.
Presiden pun yakin bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelesaikan perkara tersebut hingga tuntas dengan mengedepankan profesionalitas. Hal itu juga merupakan harapan rakyat.
Ia berharap kasus ini diproses dengan benar. Ia juga yakin bahwa KPK akan bertindak profesional terhadap kasus ini.
Kita tahu, perkara dugaan korupsi e-KTP sudah memasuki sidang perdana. Perkara itu menjerat mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman.
Saat ini, kedua nama itu sudah duduk di kursi terdakwa.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3) lalu, disebutkan bahwa sekitar Juli hingga Agustus 2010, DPR RI mulai melakukan pembahasan RAPBN TA 2011. Salah satunya soal anggaran proyeke-KTP.
Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku pelaksana proyek beberapa kali melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR RI. Kemudian disetujui anggaran senilai Rp5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberi fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Akhirnya disepakati 51 persen dari anggaran digunakan untuk proyek, sementara 49 persen untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR RI, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.