Advertorial
Intisari-Online.com – Kisah Pengantin Sewaan yang terjadi di Lampung ini ditulis oleh Mochtar Tamaela seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1979.
Secara ekonomis Propinsi Lampung kita kenal sebagai penghasil komoditi ekspor kopi, karet dan lada terbesar di negara kita. Ratusan juta dollar devisa ekspor dihasilkan dari daerah ini setiap tahun.
Tapi bagi saya itu tidak penting. Lha, saya bukan eksportir atau birokrat pemerintah. Bagi saya Lampung yang pernah saya mukimi selama belasan tahun itu punya kenang-kenangan sendiri yang luar-biasa.
Di Lampung pada tahun enam-puluhan saya masih dalam klasifikasi "joko tingting", bekerja membantu orangtua sebagai perantara hasil bumi di kecamatan Gedongtataan, 22 kilometer dari Tanjungkarang.
Baca juga: Untuk Cari Selamat dan Agar Dagangan Laris, ‘Pengantin’ pun Disembelih
Saat itu daerah Lampung belum jadi propinsi seperti sekarang, tapi masih nyelip di ketiak Propinsi Sumatra Selatan yang beribukota di Palembang.
Nah pada tahun-tahun itulah datang paman saya yang tinggal di Telukbetung ke rumah saya. Paman bermalam dan berunding dengan ayah-ibu saya secara serius. Saya tidak tahu apa yang mereka rundingkan. Yang pasti bukan merundingkan soal harga kopi dan karet.
Sebab kalau perundingan soal harga hasil bumi biasanya saya ikut serta. Pada malam kedua baru saya dipanggil dan masuk dalam "konperensi meja bundar" itu. Topiknya apa? Minta ampun! Benar-benar eksklusif ....
Berkatalah paman saya kira-kira demikian, “Nak, ada permintaan dari boss kita. Boss yang baik itu sangat memerlukan pertolongan dari kita. Persoalannya tadi malam telah paman rundingkan dengan ayah dan ibumu. Kini tinggal bagaimana keputusanmu sendiri.”
Mendengar itu saya terpaku heran. Dalam hati saya bertanya, boss itu minta tolong pada saya? Mustahil! Lha, ayah saya sendiri mendapat pinjaman modal dari dia untuk membeli kopi dan karet di desa-desa. Tapi paman melanjutkan:
“Hari Minggu yang akan datang boss akan mengawinkan salah seorang anak gadisnya. Kartu undangan telah dibagi dan beredar."
"Termasuk undangan pada pejabat-pejabat dan relasi dagangnya yang sangat luas itu. Tapi pernikahan itu akhirnya dibatalkan oleh calon menantu boss yang tinggal di Jakarta."
"Alasannya kita tidak tahu, yang jelas pernikahan itu dibatalkan. Padahal semua orang telah diundang."
Lalu paman menyimpulkan bahwa yang diperlukan boss adalah "calon menantu" pengganti. Untuk didudukan di kursi pengantin selama resepsi pernikahan berlangsung di restoran.
Bila resepsi itu telah selesai pengantin pria boleh pulang ke rumahnya sendiri. Jelasnya jadi stunt-man pengantin untuk sehari.
Sialnya dalam rangka menolong boss itu, paman mencalonkan saya jadi pengantin pengganti.
Mungkin dengan pertimbangan bahwa boss telah banyak membantu keluarga saya dan juga keluarga paman di sektor permodalan. Lalu sebagai balas budi saya ditokohkan jadi pengantin pria sehari.
Ayah dan ibu tampaknya setuju saja. Ayah malah berkata demikian: “Ala, terima sajalah nak. Apa sih ruginya menolong orang jadi pengantin-pengantinan barang sehari. Apalagi untuk kebaikan boss yang banyak menolong keluarga kita.”
Akhirnya saya mengangguk setuju!
Kemudian hari Minggu yang dimaksud itu tiba juga. Pagi-pagi sebuah Mercy menjemput saya terus dilarikan ke sebuah hotel di Telukbetung. Saya langsung di make up ala pengantin masa kini. Pakai jas dan dasi segala. Padahal ketika itu pakai jas maupun dasi saya belum pernah. Maklum orang desa.
Baca juga: Bukan Naik Mobil Mewah, Pria Ini Bawa Pulang Pengantinnya Dengan Naik Eskavator
Saya tersipu ketika duduk di kursi pengantin. Tamu atau undangan berlimpah. Saya sempat melihat hadir bupati dan beberapa camat setempat. Sementara di samping saya .... pengantin wanita yang molek itu pelupuk matanya berkaca-kaca.
Ketika resepsi usai, saya dan gadis pengantin itu berdiri di muka pintu untuk menerima ucapan selamat "menempuh hidup baru". Sambil menerima jabat-tangan setiap tamu, hati saya gemuruh tak keruan mengalami kenyataan ini.
Lha, saya jadi pengantin yang stunt-man. Padahal sebentar lagi pengantin wanitanya bukan apa-apa lagi bagi saya. Boss akan menerbangkan anak gadisnya ke luar negeri untuk menghilangkan "bencana" tidak jadi menikah.
Tapi yang masih bisa dikatakan beruntung, tak seorangpun tamu yang diundang boss itu kenal siapa saya. Maklum yang diundang orang kota, sementara saya sendiri orang desa dari kecamatan Gedongtataan. Jadi amanlah.
Esoknya datang ke rumah saya utusan boss. Yang datang bukan siapa-siapa, lagi-lagi paman saya sendiri yang pernah mencomblangi pernikahan fiktif ini. Paman menghadiahi saya sebuah sepeda Hercules baru dan pantalon yang kemarin saya pakai jadi pengantin.
Enak saja paman berkata, “Nih hadiahmu dari boss. Lumayan toh ....”
Tidak saya ketahui lagi bagaimana nasib anak gadis boss yang pernah "menikah" dengan saya itu. Sebab tahun berikutnya saya meneruskan study ke Surabaya. Sekarang anak saya sudah tiga, tapi anak-anak saya bukan cucu boss. Isteri saya gadis Suroboyo tulen.
Kalau saya hitung-hitung, saya sebenarnya pernah menikah dua kali. Sekali sebagai pengantin yang "stunt-man", yang kedua jadi pengantin sungguhan.
Baca juga: 5 Tradisi Pernikahan Aneh di Afrika, Salah Satunya Pengantin Didampingi di Malam Pertamanya