Advertorial

Untuk Cari Selamat dan Agar Dagangan Laris, ‘Pengantin’ pun Disembelih

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Kedengarannya sadis, untuk cari selamat kok harus menyembelih pengantin segala.Tapi percayalah, tak satu pun ada korban manusia di upacara adat Wilujengan Saparan atau "Selamatan Saparan" di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini.

Yang disembelih bukan pengantin beneran, tapi bekakak (sepasang boneka pengantin terbuat dari tepung beras ketan dan diisi sirup gula merah). Seperti ditulis oleh Amien Nugroho dalam Majalah Intisari edisi Januari 2010 berikut ini.

--

Boneka tadi menjadi simbol "korban", agar peristiwa naas tak menghampiri warga. Upacara yang boleh dibilang unik dan langka ini konon telah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Mulanya, upacara diselenggarakan untuk minta keselamatan pada yang mbaureksa (jin penunggu Pegunungan Kapur Gamping) agar para penambang atau pekerja yang mengambil batu kapur (batu gamping) di pegunungan tersebut tidak mendapat musibah.

Baca juga: Mati Suri dalam Tradisi Jawa: Kematian atau 'Sekadar' Ketidaksadaran?

Menurut Tarsono (78), sesepuh masyarakat Ambarketawang, di daerah Gamping dulu ada empat pegunungan kapur: Ambarketawang, Gong, Gede, dan Keliling.

Sayang, sekarang keempatnya telah musnah, menyisakan hanya sebuah bongkahan batu kapur setinggi 15 m yang oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan monumen dan cagar alam.

Gunung-gunung kapur di Gamping itu habis tidak hanya diambil oleh warga setempat saja, tetapi pada zaman kolonial Hindia Belanda dulu banyak bukit-bukit kapur yang diledakkan menggunakan dinamit untuk keperluan pembangunan pabrik-pabrik gula di Yogyakarta.

Jika dahulu penduduk setempat hidup dari hasil menambang batu kapur, kini mereka banyak yang beralih ke pekerjaan lain. Di Gamping hingga kini masih berdiri sejumlah pabrik batu kapur, namun bahannya diambil dari daerah lain.

Baca juga: Sempat Dikubur Selama Delapan Jam dengan Dalih 'Kebiasaan Tradisional', Bayi 'Ajaib' Ini Ditemukan Masih Hidup

Bekas pesanggrahan Sultan

Berdasarkan catatan sejarah, setelah terjadinya Perjanjian Giyanti di dekat Salatiga, Jawa Tengah, pada 13 Februari 1755, Kerajaan Mataram Islam terbelah menjadi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan Susuhunan Paku Buwono III sebagai rajanya, dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I sebagai raja.

Kala itu Sultan Hamengkubuwono I belum mempunyai keraton yang layak dijadikan istana sekaligus pusat pemerintahan. Sambil menunggu selesai dibangunnya Keraton Ngayogyakarta di wilayah Desa Pacetokan, tepi hutan Pabringan atau Kota Yogyakarta sekarang, Sultan HB I mendirikan sebuah pesanggrahan (keraton sementara) di Desa Tlogo yang kemudian diberi nama Pasanggrahan Ambarketawang.

Pesanggrahan itu resmi ditempati Sri Sultan HB I pada tanggal 9 Oktober 1755.

Sebagai seorang panglima perang yang ulung, Sultan HB I tentu memilih tempat kediaman yang diperkirakan aman dari serangan musuh. Dari sisi ini, pemilihan Desa Tlogo yang berada di dekat pegunungan kapur sangatlah tepat.

Baca juga: Pangeran William Sudah Langgar Tradisi Sejak Lahir, Tapi Tetap Saja Jadi yang Terpopuler

Pegunungan kapur yang terletak di sebelah timur Pesanggrahan Ambarketawang memiliki beberapa puncak yang amat tinggi, sehingga bisa berfungsi sebagai benteng pertahanan dan tempat pengintaian.

Dari tempat tersebut diberikan tanda bahaya apabila ada musuh datang menyerbu dari arah timur. Karena letak pusat kediaman Sultan HB I dengan pos-pos penjagan relatif jauh, maka digunakanlah tanda bahaya tradisional ke udara, berupa suara raungan (semacam sirine).

Konon di pegunungan kapur yang membujur dari timur ke arah barat laut itu terdapat semacam gua yang membujur dari barat ke timur juga. Gua buatan ini mirip dengan lubang perlindungan, besar kemungkinan di masa itu dipergunakan sebagai benteng pertahanan.

Pintu gua yang sebelah barat mempunyai hubungan langsung dengn Pesanggrahan Ambarketawang.

Baca juga: 5 Tradisi Pernikahan Aneh di Afrika, Salah Satunya Pengantin Didampingi di Malam Pertamanya

Lahirnya upacara saparan

Setelah menempati Keraton Ambarketawang selama satu tahun, pada 7 Oktober 1756 Sultan HB I pindah ke Keraton Ngayogyakarta yang sudah selesai dibangun, sekaligus meninggalkan Pasanggrahan Ambarketawang.

Kabarnya abdi dalem penongsong (petugas yang pembawa payung) Sri Sultan HB I yang bernama Ki Wirosuto beserta keluarga tidak ikut pindah dan tetap tinggal di pegunungan kapur tersebut.

Namun, beberapa waktu setelah kepindahan Sultan HB I, tanpa diduga salah satu gua kapur yang ditempati Ki Wirosuto runtuh sehingga keluarga abdi raja ikut ikut terkubur reruntuhan gua.

Tewasnya Ki Wirosuto beserta keluarganya menimbulkan berbagai tanggapan dari masyarakat. Antara lain ada yang mengatakan, penyebab kematian Ki Wirosuto beserta keluarganya karena jin penunggu pegunungan kapur meminta "tumbal".

Baca juga: Ini Kisah Sebenarnya Di balik Drupadi yang Punya Lima Suami Pandawa Menurut Tradisi India

Karena kebetulan di gunung kapur tersebut hanya ada Ki Wirosuto bersama keluarganya, maka yang menjadi korban ya abdi dalem panongsong tersebut.

Sejak peristiwa tragis itu, hampir setiap Bulan Sapar dapat dipastikan ada penduduk yang menambang (mengambil) batu kapur di Pegunungan Gamping mendapat musibah, misalnya tertimbun longsoran batu kapur yang sedang digali.

Bahkan pada bulan-bulan tersebut bukan hanya satu-dua orang saja yang mendapat kecelakaan, tetapi lebih banyak lagi.

Bila suatu waktu terdengar suara bende (semacam gong berukuran kecil) dari arah Pegunungan Kapur Gamping, umumnya penduduk sudah menduga telah terjadi kecelakaan yang menelan korban jiwa.

Baca juga: Tradisi Kumari, Memilih Gadis Kecil Sebagai Inkarnasi Dewi untuk Disembah Ribuan Umat

Seringnya kecelakaan yang memakan korban jiwa memaksa Sultan HB I memerintahkan Demang Gamping (jabatan setingkat Camat) agar setiap hari Jumat antara tanggal 10 – 20 Sapar (bulan kedua dalam penanggalan Jawa) melaksanakan upacara Selamatan Saparan.

Pada upacara Saparan itu dibuatlah dua pasang bekakak, yakni boneka pengantin yang terbuat dari tepung beras ketan dan didalamnya diberi cairan sirup gula merah yang ditamsilkan sebagai darah.

Dua pasang bekakak pengantin itu kemudian disembelih di dua tempat di kawasan Pegunungan Gamping, yakni di Desa Tlogo dan Delingsari. Sejak saat itu, setiap tahun di Bulan Sapar diselenggarakan upacara adat penyembelihan bekakak, agar korban manusia tidak bertambah lagi.

Dibanjiri pengunjung

Puncak upacara adat Saparan berupa penyembelihan bekakak dilaksanakan pada Jumat kedua di Bulan Sapar. Pada tahun 2009 ini, upacara adat Saparan jatuh pada hari Jumat, tanggal 17 Sapar.

Baca juga: Tradisi Pati Obong, Saat Para Janda Membakar Diri Untuk Menjaga Kehormatannya

Namun berbagai keramaian telah digelar sejak seminggu sebelum upacara tersebut berlangsung. Pasar malam, pameran pembangunan, sampai berbagai pentas kesenian tradisional digelar di lapangan depan Balai Desa Ambarketawang, terletak sekitar 5 km sebelah barat Kota Yogyakarta.

Upacara tradisional Saparan saat ini memang telah tumbuh mekar sebagai peristiwa budaya bernuansa kepariwisataan yang menarik dan selalu dibanjiri pengunjung, yang datang dari berbagai daerah sekitarnya.

Bahkan tidak sedikit wisatawan mancanegara yang sengaja berkunjung untuk menyaksikan upacara adat yang unik dan langka ini.

Arak-arakan upacara adat Saparan dimulai dari lapangan Balai Desa Ambarketawang menuju bukit kapur yang berjarak sekitar 3 km di selatan Balai Desa.

Baca juga: Inilah Boneka Amish, Boneka Tanpa Wajah yang Menyimpan Cerita Tradisi Penduduknya

Dengan mengenakan pakaian adat Jawa, rombongan pamong desa Ambarketawang dengan naik kuda dan andong mendahului arak-arakan ini, disusul oleh bregada prajurit Keraton Yogyakarta, prajurit Wiratani dari Gamping Tengah, bregada prajurit Wirosuto dari Gamping Kidul, rombongan Muspida Kabupaten Sleman, rombongan Muspika Kecamatan Gamping, disusul rombongan pembawa gunungan yang terbuat dari hasil pertanian dan perkebunan.

Rombongan berikutnya dalam iring-iringan tersebut adalah pembawa joli-joli (tandu) yang berisi bekakak pengantin dan sesaji. Setiap joli diusung oleh empat orang.

Joli ini dikawal oleh sepasang gendruwo dan wewe (semacam ondel-ondel) yang dibawa dan diperankan oleh warga setempat. Tak ketinggalan rombongan pemusik hadrah yang menyanyikan lagu-lagu pujian (salawatan).

Suasana di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan itu sungguh meriah. Ribuan orang berjubel menanti lewatnya iring-iringan tersebut, sebagian berjalan bergerombol menuju bukit kapur.

Baca juga: Bungkam dan Tak Banyak Bicara, Inilah Tradisi Unik Tawar Menawar di Pasar Bisu Sumatera Barat

Tempat penyembelihan bekakak masing-masing di bekas Bukit Kapur Ambarketawang di Desa Delingsari dan sebuah tempat penyembelihan lagi di bekas bukit kapur di Desa Tlogo. Kedua tempat penyembelihan ini berada di sebelah utara situs Pesanggrahan Ambarketawang, tempat Sultan HB I pernah tinggal.

Setelah iring-iringan tiba di bukit kapur, bekakak dikeluarkan dari joli masing-masing. Di sebuah bangunan berbentuk panggung setinggi 3 m, disembelihlah leher kedua pasang bekakak pengantin. Darah yang terpancar dari lehernya dipercik-percikkan ke sekeliling bukit kapur.

Setelah itu mulailah sesajian dibagi-bagikan kepada para pengunjung. Orang pun berdesak- desakan, saling dorong mendorong dan berebutan untuk memperoleh sepotong panganan yang amat berarti buat mereka.

Baca juga: Mengenal Tradisi ‘Kodokushi’, Mati Dalam Kesendirian yang Sedang Tren di Kalangan Lansia di Jepang

Mereka tak peduli jatuh bangun di tanah, pokoknya mendapat sepotong sesaji yang telah diberi doa-doa.

"Saya jauh-jauh datang ke sini memang hanya untuk memperoleh potongan sesaji ini, Mas. Nanti setelah sampai di rumah langsung saya tanam di dalam warung agar memperoleh berkah dan warung saya tambah laris," ungkap Endang (56), warga Dusun Suroyudan, Godean, Sleman.

Upacara tradisi Saparan itu hingga kini masih diyakini nilai sakralnya oleh masyarakat Gamping. Meski diakui, telah mengalami pergeseran di sana-sini, namun tetap dipertahankan sebagai salah satu kekayaan budaya dan kekhasan kota Yogyakarta.

Baca juga: Tradisi Unik! Ini yang Disiapkan Warga Yogyakarta Menyambut Gerhana Bulan Super Blue Blood Moon

Artikel Terkait