Advertorial
Intisari-Online.com -Seorang mantan wartawati sekaligus seorang pengacara, Juniarti Tanjung akan mengajukan gugatan kepadaPresiden Joko Widodo dan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Juniarti yang kini berusia 46 tahun mengajukan gugatan atas dihapusnya obattrastuzumab, obat kanker payudara HER2 positif, dari daftar obat yang ditanggung oleh BPJS.
Menurut Juniarti, Pasien BPJS Kesehatan yang baru terdiagnosa mengidap kanker payudara sesudah tanggal 1 April 2018 tidak bisa menggunakan trastuzumab melalui tanggungan BPJS.
Sementara Juniarti baru terdekteksi menderita kanker payudara HER2 positif pada Mei 2018.
Juniarti sendiri baru mengetahui penghapusantrastuzumab dari daftar obat yang ditanggung BPJS saat pihak apoteker Ruimah Sakit Persahabatan menolak reseptrastuzumab saat dirinya akan menjalani kemoterapi.
Obat ini sendiri tergolong terapis target untuk digunakan dalam pengobatan kanker dan dianggapefektif memperpanjang usia pasien penderita kanker payudara HER2 positif.
Harga daritrastuzumab sendiri bisa dibilang sangat mahal, yaitu Rp25 juta.
Sementara seorang penderita kanker payudara HER2 positif biasanya harus menjalani delapan hingga 16 sesi pengobatan menggunakantrastuzumab.
Surat terbuka suami
Atas dasar itulah Juniarti ingin mengajukan gugatan kepada Direksi BPJS dan juga kepada Presiden Jokowi.
Dirinya merasa ada kebijakan yang diskriminatif dalam mendapatkan pengobatan terbaik bagi pasien kanker payudara HER2 positif.
Rencana gugatan tersebut disampaikan oleh suami Juniarti, Edy Haryadi yang dikirimkan ke beberapa redaksi media di Indonesia serta tersebar melalui media sosial Facebook.
Masih Ditanggung, Namun...
Benarkah trastuzumab sudah tak ditanggung oleh BPJS?
Direktur Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan MayaAmiarny Rusadymenyatakan bahwa obat tersebut masih dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Kami berikan Trastuzumab untuk kanker pada stadium awal. Masih kami jamin Trastuzumab,"ujar Mayakepadatempo.co,25 Juni 2018.
Sementarajika kanker payudara sudah berada pada stadium mestastasis, yaitu sel kanker menyebar ke sejumlah organ tubuh lainnya, makatrastuzumab tidak berada dalam tanggungan BPJS Kesehatan karena dikategorikan "tidakdalam indikasi medis".
"Ini bukan BPJS yang atur, tim ahli yang bilang. Artinya kalau tidak indikasi medis, dampak efek yang diharapkan tidak maksimal," kata Maya.
Alasan lainnya adalah sudah adanya obat lain yang dianggap sudah dapat menggantikantrastuzumab.
--
Berikut ini isi lengkap surat Edy Haryadi yang berjudul "Obat Kanker Trastuzumab Dihapus BPJS, Penderita Kanker dan Keluarga Gugat Direksi BPJS Kesehatan dan Presiden Jokowi":
"Ini cerita tentang istri saya. Ia bernama Juniarti, 46 tahun. Ia merupakan mantan wartawati majalah Femina dengan nama Yuniarti Tanjung dan sekarang bekerja sebagai pengacara.
Cerita ini dimulai ketika pada bulan Desember 2017 keluarga istri saya melihat ada pembengkakan di leher atau di kelenjar getah bening sebelah kanan istri saya. Karena oleh kantor saya diberikan kartu Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk asuransi kesehatan, pada bulan Januari 2018, istri saya kemudian memeriksakan diri ke Puskemas Duren Sawit, Jakarta Timur, puskesmas terdekat dengan domisili kami sesuai prosedur BPJS. Lalu oleh Puskesmas Duren Sawit, istri saya dirujuk ke bagian spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih, Jakarta Timur.
Setelah menjalani pemeriksaan, dokter di RSUD Budhi Asih curiga benjolan itu kanker. Karena tidak ada dokter spesialis kanker atau onkologi di sana, maka sejak awal Februari 2018, istri saya dirujuk ke Rumah Sakit (RS) Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur. Di sana istri saya ditangani oleh Dr. Budi Harapan Siregar, Sp.B (K) Onk.
Oleh dokter, kemudian dilakukan biopsi, atau pengambilan jaringan pada leher kanan istri saya. Ternyata hasilnya positif kanker. Tapi menurut pemeriksaan laboratrium Patologi Anatomi (PA) RS Persahabatan itu bukan kanker utama melainkan kanker yang sudah metastasis (menyebar). Diduga, sumber utamanya berasal dari payudara. Kesimpulan PA biopsi leher: metastase adenokarsinoma yang dapat berasal dari payudara (ditandatangani oleh ahli patologi dr. Romi Baginda, Sp.PA).
Untuk memastikan, dokter pun mengirim Hasil PA itu kembali ke bagian lab PA Rumah Sakit Persahabatan untuk diperiksa lebih teliti dengan pemeriksaan Imuno Histo Kimia atau IHK. Hasil IHK yg dilakukan laboratrium Kalgem: ER +, PR+, Her2+ dengan overexpressed, kategori 3+score, Ki67: expressed, moderate to strong intensity 60% to 70% (highly proliferative).
Dengan kata lain istri saya dinyatakan penderita kanker payudara HER2 positif yang sudah mengalami metastasis atau penyebaran. Hasil IHK itu keluar 10 Mei 2018.
Setelah operasi pengangkatan payudara sebelah kanan, hasil PA menunjukkan daging di payudara istri saya memang mengandung tumor ganas. Ia positif menderita kanker payudara HER2 positif. metastasis dan berada di stadium 3 B.
Paska operasi, istri saya disarankan menjalani kemoterapi. Pada 24 Juni 2018, dokter pun meresepkan tiga obat kemoterapi dan satu obat yang tergolong terapi target untuk pengobatan kanker payudara HER2 positif, yaitu herceptin atau nama lain trastuzumab.
Untuk diketahui, trastuzumab adalah obat yang aman, bermutu dan berkhasiat yang perlu dijamin aksesbilitasnya dalam rangka pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Formularium Nasional 2018 yang ditetapkan pada 28 Desember 2017. Di halaman 66 pada poin 43 keputusan itu menyebutkan secara tegas bahwa trastuzumab diberikan pada pasien kanker payudara metastatik dengan HER 2 positif (+++) dan wajib dijamin ketersedian obatnya oleh BPJS Kesehatan.
Obat trastuzumab memang sudah terbukti efektif memperpanjang usia penderita kanker HER2 positif. Contoh hidupnya adalah Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum Cancer Information Support Center (CISC), seorang penderita kanker payudara HER2 positif yang sudah bertahap hidup 15 tahun lebih berkat trastuzumab atau herceptin. Kebetulan istri saya dan Aryanthi Baramuli sudah berteman lama.
Tapi masalah muncul ketika pihak apoteker Rumah Sakit Persahabatan menolak resep kami untuk herceptin atau trastuzumab. Alasannya karena sejak 1 April 2018 obat trastuzumab dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan. Belakangan kami baru tahu penjaminan itu dihentikan BPJS atas dasar pertimbangan Dewan Pertimbangan Klinis BPJS yang menganggap obat itu tidak bermanfaat secara medis.
Tapi menurut kami BPJS menghentikan penjaminan trastuzumab karena obat itu terlalu mahal. Obat itu memang mahal. Harganya di pasaran Rp 25 juta. Sementara seorang penderita kanker HER2 positif minimal harus menjalani 8 sesi dari 16 sesi pengobatan dengan trastuzumab. Tapi, apakah karena mahalnya harga obat tersebut menyebabkan penderita kanker payudara HER2 positif mengalami diskriminasi untuk mendapat pengobatan terbaik?.
Sementara kita tahu BPJS Kesehatan terus-menerus merugi. Maka sejak November 2017 direksi BPJS sudah aktif mewacanakan “cost sharing” bagi penderita penyakit berat seperti kanker dan jantung. Tapi usulan itu kemudian ditolak oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah selama ini lebih memilih menutup defisit keuangan BPJS. Nah, kini direksi BPJS Kesehatan agaknya kembali mencoba menerapkan efisiensi, tapi dengan cara melibas obat-obat mahal. Itu bisa dilihat kawan-kawan dengan cara meng-goggle dengan kata kunci: “trastuzumab bpjs.”
Apalagi dari pertemuan kami dengan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS, R. Maya Amiarny Rusady dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis BPJS, Prof Agus Poerwadianto, Selasa petang, tanggal 3 Juli 2018, di kantor pusat BPJS di Jakarta, alasan mereka menyetop penjaminan obat trastuzumab masih samar-samar dan mengambang.
Pada pertemuan itu kami juga baru memperoleh salinan surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS R. Maya Amiarny Rusady Nomer 2304/III.2/2018 tertanggal 16 Februari 2018 yang ditujukan ke Kepala Cabang BPJS di seluruh Indonesia untuk menghentikan penjaminan terhadap trastuzumab sejak 1 April 2018. Celakanya, istri saya justru baru terdeteksi sebagai penderita kanker payudara HER2 positif di bulan Mei 2018.
Sore setelah pertemuan itu saya dihubungi Nopie Hidayat, Kepala Humas BPJS, yang memberikan alamat email dan meminta saya menulis kronologi sakitnya istri saya, Juniarti, dan harapan saya ke direksi BPJS untuk ditindaklanjuti untuk melengkapi dokumen yang sebelumnya kami berikan. Saya pun mengirim surat melalui email yang menyatakan saya masih berharap kebijaksanaan direksi BPJS agar tetap menjamin obat trastuzumab yang sudah terbukti efektif memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif. Saya memberi waktu hingga istri saya menjalani kemoterapi pertama pada tanggal 10 Juli 2018 di RS Persahabatan Jakarta Timur.
Namun hingga kemoterapi pertama berlangsung, obat trastuzumab tidak diberikan. Di saat istri saya menjalani kemoterapi pertama tanpa trastuzumab, saya ditelepon kembali oleh Nopie Hidayat yang menyatakan kasus saya tengah diproses. Namun prosesnya terkesan lebih pada mengaudit dokter di RS Persahabatan mengapa memberi istri saya obat herceptin atau trastuzumab. Saat saya tanya bagaimana dengan permintaan saya tentang transuzumab, dia bilang belum. Ketika saya desak lagi, dia mengatakan direksi BPJS tidak akan menjamin. Karena direksi BPJS percaya masih ada 22 obat kanker di luar trastuzumab. Tapi BPJS tidak pernah menyebutkan obat apa di luar trastuzumab yang telah terbukti secara ilmiah, medis dan empiris memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif.
Oleh karena itu, istri saya, Juniarti, saya, Edy Haryadi, sebagai suami, dan anak tunggal kami, Raka Arung Aksara, akan menggugat Direksi BPJS dan Presiden Jokowi secara hukum atas penghapusan obat lini pertama trastuzumab --karena BPJS seolah tengah membisniskan perkara nyawa--- yang sangat penting untuk memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif. Ini bisa dicek di jurnal ilmiah, media massa, dan saksi hidup seperti Aryanthi Baramuli, Ketua Umum Cancer Information Support Center (CISC) yang juga hadir dalam pertemuan dengan Direksi BPJS dan sampai sekarang sudah bertahan hidup selama 15 tahun lebih dari kanker payudara HER2 positif berkat trastuzumab atau herceptin.
Terlebih lagi obat ini memang masuk dalam jenis obat yang harus diresepkan dalam Formularium Nasional tahun 2018 untuk penderita kanker HER2 positif yang baru ditanda-tangani 28 Desember 2017 oleh Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr Nila Djuwita F. Moeloek dan berlaku untuk tahun 2018.
Apalagi penderita HER2 positif sangat sedikit. Jumlahnya hanya 20 persen dari semua penderita kanker payudara. Terlebih hak paten herceptin, merek dagang obat trastuzumab, akan berakhir tahun 2019. Sehingga obat generik pada tahun itu akan bisa dibuat sehingga bisa menekan biaya tinggi pada pengobatan kanker payudara HER2 positif yang salah satunya tengah dikembangkan oleh BUMN farmasi, Biofarma.
Mengapa Presiden Jokowi turut digugat? Karena menurut Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Direksi BPJS Kesehatan bertanggungjawab langsung pada Presiden RI. Hanya Presiden yang bisa memberhentikan Direksi BPJS. Presiden ikut digugat karena dia bertanggungjawab atas pembiaran terhadap aksi sepihak Direktur BPJS Kesehatan yang menghapus obat trastuzumab yang amat dibutuhkan penderita kanker payudara HER2 positif.
Gugatan itu kini tengah disusun oleh tim pengacara kami dengan cara pro bono alias gratis.]
Jakarta, 16 Juli 2018
Edy Haryadi (suami Juniarti) HP dan WA: 0813-10-274-674
Juniarti, penderita kanker payudara HER2 positif, HP dan WA: 081-777-2970
Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum Cancer Information Support Center (CISC) dan survivor penderita kanker payudara HER2 positif yang sudah bertahan hidup 15 tahun lebih berkat tarntuzumab atau Herceptin, HP dan WA: 0813-1527-9292
Rusdianto Matulatuwa, SH, kuasa hukum, HP dan WA: 081-114-8650
Hemasari Dharmabumi, SH, kuasa hukum, HP dan WA: 0812-2153-370
Wildan Nurul P, SH, kuasa hukum, HP dan WA: 0878-7088-1917
Oktryan Makta, SH, kuasa hukum, HP: 0812-875-42381
Wahyu Budi Wibowo, SH, kuasa hukum: HP dan WA: 0821-3430-3053
Andre Abrianto Manalu, SH, kuasa hukum: HP dan WA: 0811-2575-212"