Irma Suryati: Tunadaksa Jadi Pengusaha

K. Tatik Wardayati
,
Hery Prasetyo

Tim Redaksi

Irma Suryati: Penyandang Tunadaksa jadi pengusaha
Irma Suryati: Penyandang Tunadaksa jadi pengusaha

Intisari-Online.com – Ketidaksempurnaan fisik tak menghalangi Irma Suryati untuk membangun kerajaan bisnis. Meski harus berjalan dengan bantuan kruk, ia tetap gesit melayani pelanggan dan melatih orang-orang yang tertarik belajar bikin keset. Dia menjadi contoh tuna daksa yang sukses menjadi pengusaha. Kini usaha keset dari kain perca yang ditekuninya bermitra dengan sekitar 7.000 orang dari berbagai wilayah dan 150 tunadaksa.

Dulu, selepas SMA, Irma Suryati kesal ketika melamar kerja di beberapa perusahaan, tapi tak diterima. Alasannya, kaki Irma cacat akibat penyakit polio yang dideritanya sejak usia 4 tahun. Akhirnya bersama suami, Agus Priyanto yang juga tunadaksa, ia berjibaku merintis usaha. Mutiara Handycraft, nama usaha milik Irma ini terletak di Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kebumen, Jawa Tengah.

Bengkel kerja mereka berisi belasan unit mesin jahit dan etalase produk. Di dinding terpampang berbagai hasil karya mereka, misalnya keset berbentuk kura-kura, kuda laut, beruang, kupu-kupu, dan sebagainya. Semuanya terbuat dari limbah kain yang diperoleh dari pabrik garmen di Bandung dan Semarang. Selain produk, di tembok juga terpampang aneka piagam penghargaan dan spanduk pelatihan.

Usai istirahat siang, dari dalam rumah bermunculan orang. Ada yang pincang, berjalan menggunakan kruk, salah satu tangan kecil, ada pula perempuan dengan tonjolan di bahu kiri. Mereka karyawan Irma. Ketika duduk di belakang mesin jahit masing-masing, mereka dengan cekatan mengayuh mesin dan menjahit potongan-potongan kain sesuai pola tertentu.

Tahun 1997 Irma memulai usaha ini di Semarang. “Tadinya buka usaha jahitan baju, tapi ndak laku, kalah sama yang lain. Waktu itu bahkan bisa sehari ndak makan karena ndak ada jahitan. Akhirnya terpikir mencoba bikin kerajinan dari kain perca. Tadinya limbah kain itu dibakar. Akibatnya banyak orang yang mengeluh. Saya pikir daripada dibakar mending jadi kreasi,” cerita perempuan kelahiran Semarang, 25 September 1975 ini.

Modal awal yang dikeluarkan untuk memulai usaha ini Rp50.000. Kain perca gratis diperoleh dari limbah pabrik garmen di Semarang. Setelah tahu usaha Irma menanjak bagus, bahan baku tersebut harus dibeli. “Dulu bahan baku satu ton habis berbulan-bulan. Sekarang kami butuh 3 ton per minggu,” tutur Irma.

Pemasaran berawal dari tetangga, teman, hingga Irma membuka kios di Pasar Karangjati, Semarang. Usaha berkembang, Irma butuh karyawan. Ia pun menghubungi teman-temannya di RC Solo, Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta (BBRSBD), tempatnya dulu belajar. Alumni RC Solo inilah yang mengisi kebutuhan tenaga tambahan untuk bisnisnya. Ia berpikir, pengalaman susah mendapat pekerjaan karena cacat fisik tentu dialami rekannya sesama tunadaksa. Karenanya, ia bertekad menyediakan lapangan kerja bagi para Orang Dengan Kecacatan Tubuh (ODKT). Dari awal usaha hingga tahun 2002 ia mempekerjakan 30 orang ODKT.

Artikel Terkait