Intisari-Online.com – Ketika pasangan hidupnya meninggal dunia, Theresia Sri Soepartini merasa perjalanan hidupnya seperti menyusuri lorong gelap tak berujung. Apalagi, ia memiliki enam anak. Namun ia tetap tekun berjalan setapak demi setapak, mensyukuri kehidupan hari demi hari, hingga akhirnya keenam anaknya berhasil meraih gelar sarjana. Modal utama mentalnya adalah, Tuhan Maha Kaya.
Pertengahan November 1973 Theresia Sri Soepartini gembira saat ia dikaruniai anak keenam. Kehadiran manusia baru menambah semarak kehidupan keluarganya. Sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Enam belas hari kemudian ia harus merelakan kepergian suaminya, S. Soeradji, menghadap Sang Khalik. Meski sempat dirawat di rumah sakit, namun akhirnya penyakit liver merenggut nyawa suaminya.
Kenyataan itu membuatnya limbung. Sebagai ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya untuk mengurus anak-anak dan melayani suami. Kebiasaan itu berubah karena kepergian suami. Rasa kehilangan itu terasa kian menusuk. Misalnya, pada pukul dua siang biasanya Sri sudah tata dhahar (menata makanan di meja makan), menunggu suaminya pulang kerja. Ketika sang suami pergi, melewati jam-jam tersebut terasa sangat pahit.
Ia juga merasa terluka jika melihat pasangan suami istri berjalan bersama. “Teman-teman kerja bapak baik, setelah bapak pergi mereka datang bergantian jenguk saya. Tapi kalau yang datang ke sini berdua dengan suami, baru sampai halaman situ, saya usir. ‘Ngapain datang ke sini kalau cuma mau pamer suami’. Edan ya, aku waktu itu,” kata Sri sembari tertawa.
Bagi Sri, suami adalah sosok pengayom bagi dirinya dan anak-anak. Ketika berhadapan dengan kenakalan anak-anak sementara sang suami tak ada, Sri sangat sedih. Ia harus menjadi orangtua tunggal untuk anak-anaknya yang masih kecil. Waktu suaminya meninggal, tiga anak masih SD, satu anak TK, anak ke-5 berusia 4,5 tahun, dan si bungsu berumur 16 hari. “Saya sering masuk kamar, bilang, ‘Pak, itu lo anak-anak nakal’. Tapi saya ndak mau terlihat sedih atau nangis di depan anak-anak. Saya nangis kalau di kamar mandi sama kalau mau tidur, supaya ndak kelihatan anak-anak,” tutur Sri, perempuan kelahiran Kendal, 11 Maret 1940 ini.
Seorang diri harus menyelesaikan segala problematika keluarga sekaligus mengatasi rasa kehilangan, menggoyahkan ketegarannya. Ia pernah menghadap seorang pastor dan menyampaikan niat untuk menjadi biarawati. “Waktu itu saya bilang, Romo, suami saya ‘kan sudah ndak ada. Mbok saya dizinkan untuk daftar jadi suster (biarawati). Tapi Romo bilang, kamu masih punya anak-anak, mereka itu tanggung jawabmu. Yang sudah mati biar mati, kamu harus tetap hidup. Justru kamu yang dipercaya membesarkan anak-anak, bukan suamimu,” kata Sri tersenyum mengenang peristiwa itu.
Anak hendak dipinjam
Tak hanya persoalan psikologis yang harus diatasi. Sri juga harus menjadi penopang utama perekonomian keluarga. Ketika sang suami mangkat, Sri tidak bekerja. Uang pensiun suami sebagai pegawai DPU (Departemen Pekerjaan Umum) juga tak segera diterima. “Pensiun bapak baru keluar 16 bulan setelah bapak pergi. Itu pun saya harus mengurusnya ke Jakarta dan Semarang. Ya sudah, kami makan gelang, kalung, apa pun yang bisa dimakan. Ada Romo datang ke sini, berpesan, ‘Bu, ampun ngantos dhahar meja, lemantun (jangan sampai jual meja atau lemari untuk biaya makan),’” ungkap Sri yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah.
Maksudnya, berbagai perhiasan yang pernah dimilikinya itu dijual untuk biaya hidup. Itu pun masih belum cukup. Sri beruntung, ada kolega suaminya yang berbaik hati membantu uang bulanan padanya. Dia adalah salah satu pemborong yang pernah bekerja sama dengan sang suami. Kata Sri, orang tersebut terkesan dengan sikap suaminya yang tak pernah meminta pungutan apa pun. Sri memanggilnya Pak Hadi.
Selain membantu biaya bulanan, Pak Hadi juga menyatakan niat membantu dengan “meminjam” anak-anak agar Sri tak terlalu kerepotan. Meminjam maksudnya membawa anak-anak Sri ke rumah Pak Hadi dari hari Senin sampai Sabtu, lalu mereka kembali ke rumah Sri tiap akhir pekan. Tapi Sri menolak tawaran itu. “Bapak pernah berpesan, apa pun yang terjadi anak-anak harus tetap di tangan kita,” tandas Sri.
Sri justru mengajak anak-anaknya ikut berprihatin. Ia memutuskan berjualan aneka kue dan anak-anak membantunya. Ketiga anaknya yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar diminta membawa barang dagangan yang hendak dijual di kantin sekolah mereka. Mereka bertiga naik becak sembari memangku berbagai panganan. Keuntungan jualan itu digunakan untuk membayar uang sekolah dan biaya bulanan becak.
Setiap hari Sri harus berhadapan dengan pengaturan kebutuhan hidup yang tidak kecil. Namun ia percaya, Tuhan Maha Kaya. “Saya bilang gini, ‘Gusti, punika sedaya putra-putri Paduka, kula namung ketitipan. Badhe disekolahke monggo, mboten nggih monggo. (Tuhan, mereka semua anak-anakmu, saya hanya dititipi. Mau disekolahkan silakan, tidak sekolah juga tak apa),’” ungkap Sri tersenyum.