Intisari-Online.com -Luka merupakan dikontinuitas permukaan kulit yang mudah terpapar kuman atau mikroba lian seperti jamur. Meski tergantung kesehatan kulit itu sendiri, luka biasanya sembuh tanpa perlu banyak diperhatikan. Artinya, akan terbentuk kulit baru yang menutupi permukaan luka secara sempurna. Ini karena tubuh sehat mempunyai mekanisme regenerasi luka sangat baik, yakni membentuk jaringan granulasi yang kemudian ditutup dengan jaringan epitel.
Dengan sendirinya, bila dipengaruhi penyakit seperti diabetes, atau usia lanjut, kulit tidak lagi sehat dan lentur sehingga penyembuhan luka terganggu.
(Dubes Rusia Ditembak: Apa yang Harus Dilakukan Jika Bertemu Korban Luka Tembak?)
Luka baru, terutama yang kotor, sebaiknya dibersihkan dengan air dan sabun. Kemudian segera dikeringkan dengan kain bersih, bukan tisu. Soalnya, serpihan tisu atau bahan apa saja yang menempel di atas luka merupakan tempat kuman berkembang biak sehingga mengalangi tumbuhnya jaringan granulasi.
Bila luka hanya berada di permukaan dan terdapat di bagian tubuh yang tidak bergerak, kadang kala ada baiknya untuk membiarkan luka terbuka. Ini membuat penyembuhan luka jadi lebih cepat. Antiseptik atau salep antibiotik sering tidak diperlukan, bila lukanya bersih.
Namun, bila lukanya dalam atau kotor sebaiknya ditutup dengan kasa steril dan dengan alasan di atas jangan menggunakan kapas. Membersihkan dengan air dan sabun juga dianjurkan, bila luka kotor dan baru terjadi. Perdarahan sebaiknya dihentikan dengan cara menekan di tempat darah keluar dengan menggunakan kain kasa (steril bila ada) dan baru dilepas bila perdarahan sudah berhenti.
()
Menggunakan antiseptik untuk luka segar dapat dibenarkan, guna membunuh kuman yang ada. Untuk ini juga sering dipakai salep antibiotik, walau sebaiknya tidak dilakukan pada tiap luka untuk menghindarkan timbulnya kekebalan kuman.
Dahulu kita memakai "obat merah" berisi larutan merkurokrom yang dapat membuat luka (basah) menjadi kering. Mungkin, satu kali pemberian sudah cukup. Sayang, kini merkurokrom tidak dibenarkan lagi karena mengandung senyawa merkuri organik yang dianggap sangat toksik terhadap otak. Padahal, bila dipakai sedikit saja tidak masalah. Cuma bila sering dipakai untuk permukaan luas, dikhawatirkan sifat toksik akan menumpuk.
Sama halnya dengan boorwater yang juga sudah tidak dibenarkan lagi untuk mencuci luka atau mata (ataupun sebagai zat pengawet dalam makanan) karena kandungan garam borium juga toksik terhadap saraf. Selain itu kristal garam borium akan menempel di bulu mata bila airnya menguap. Boorwater juga tidak terlalu efektif lagi untuk luka.
Bubuk sulfa untuk ditaburkan di atas luka sekarang pun tidak dianjurkan lagi: hipersensitivitas kulit terhadap sulfa sangat dikhawatirkan. Jadi harus bagaimana?
Luka basah sebaiknya dikompres dengan larutan permangan (larutan 1 per 10.000) atau rivanol (larutan 1 per 1000). Lagi-lagi, gunakan kain kasa dan bukan kapas. Norit juga sering dianjurkan untuk ditaburkan di luka kronis basah, mengandung nanah, dan sulit sembuh. Untuk ini sebaiknya dipakai bubuk norit halus bersih dari botol, jangan yang dari gerusan tablet. Luka kronis perlu dibersihkan setiap hari dan jaringan mati perlu dibuang.
Paling sulit adalah mengobati luka terinfeksi atau bisul kecil pada orang tua atau penderita diabetes. Seperti kita ketahui, pada penderita diabetes luka sekecil apa pun, terutama yang kadar gulanya tidak terkontrol baik dan ada edema (pembengkakan) di sekitar luka, sulit disembuhkan. Repotnya lagi, indera rasa sakit mereka juga sudah berkurang. Padahal, luka kecil akibat memotong kuku kaki sendiri saja dapat menjalar ke atas dengan sangat cepat sehingga diperlukan tindakan operatif. Itulah sebabnya, luka pada penderita diabetes memerlukan perawatan khusus dokter. Dalam hal ini antibiotik yang tepat sangat diperlukan.
Jadi, sebaiknya penderita diabetes lanjut usia tidak memotong kukunya sendiri dan harus menggunakan sepatu atau sandal berukuran pas sehingga tidak menimbulkan gesekan yang dapat menyebabkan luka lecet.
(Sumber: Intisari)