Intisari-Online.com -Selama ini banyak di antara kita malu mendatangi psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa. Takut dikira orang gila atau punya keluarga gila. Alasan itu masuk akal lantaran ada pandangan di sebagian masyarakat bahwa seorang psikiater adalah dokter bagi orang sakit jiwa. Celakanya, masyarakat juga menganggap orang sakit jiwa itu hanya gila (psikosis).
(Orang dengan Gangguan Jiwa Tertarik dan Menikah dengan Orang dengan Gangguan Jiwa yang Sama)
Pandangan itu salah besar. Yang benar, seorang psikiater mengemban tugas promosi, prevensi, terapi, dan rehabilitasi. Juga, memikul tugas psikiatri forensik yang berkaitan dengan bidang hukum. Jadi, yang perlu mendapatkan bantuan psikiatri bukan cuma orang sakit jiwa!
Kita yang berjiwa sehat bisa meningkatkan taraf kesehatan jiwa kita (promosi) dengan bantuan seorang psikiater. Dengan taraf kesehatan jiwa lebih tinggi, kita lebih tahan dalam menghadapi stres (ketegangan) sehingga tidak mudah menjadi distres (sakit). Caranya, dengan menjalani latihan mental untuk membiasakan diri menghadapi berbagai hambatan dan tantangan secara bertahap menggunakan metode tertentu.
(Hati-hati, Anak yang Diajari Berbohong bisa Alami Gangguan Jiwa Berat saat Dewasa)
Psikiater juga perlu dikunjungi untuk mencegah timbulnya gangguan jiwa dalam menghadapi masa penyesuaian diri terhadap perubahan keadaan (prevensi). Umpamanya, perubahan dalam hal pendidikan, tugas, nikah, pindah (tempat tinggal, kerja, atau sekolah), perubahan posisi atau status dalam masyarakat. Bahkan untuk mengetahui sejauh mana kita tepat menduduki suatu jabatan pun, sebenarnya dibutuhkan psikiater.
Di luar diri sendiri, kita bisa pula mendatangi psikiater untuk berkonsultasi mengenai orang lain yang menjadi tanggung jawab kita. Misalnya, untuk anggota keluarga, karyawan, anggota organisasi yang kita pimpin, murid atau mahasiswa kita, bahkan pasien bila kita berprofesi sebagai dokter.
(Gangguan Jiwa Bisa Muncul Sejak Anak-anak dan Remaja)
Yang pasti, bantuan psikiater dibutuhkan bila kita atau anggota keluarga kita mengalami gangguan atau sakit jiwa (dari yang ringan hingga parah) untuk mendapatkan kesembuhan (terapi). Gangguan jiwa ini dapat terlihat dari kelainan perilaku pasien atau kelainan perilaku organ tubuhnya. Ringan beratnya gangguan jiwa tadi tergantung dari besarnya gangguan keseimbangan pada ketiga unsur jiwa raganya, yaitu perasaan dengan ungkapannya (alat cerna), kemauan dengan tindakannya (alat gerak), dan pikiran dengan pernyataannya (alat nalar).
Tidak ketinggalan, anggota keluarga yang menderita cacat jiwa pun dapat dibawa berkonsultasi agar cacatnya tidak semakin parah dan ketergantungannya pada lingkungan berkurang (rehabilitasi).
Bagaimanapun, kesehatan jiwa merupakan kebutuhan semua orang dari berbagai tingkat usia. Karenanya dikenal psikiatri anak hingga psikogeriatri. Memang, masalah kesehatan jiwa bahkan dapat terjadi sejak sebelum kehamilan (karena, bagaimana kehamilan terjadi, banyak mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Misalnya, kehamilan karena "kecelakaan", tidak diharapkan, atau sangat diharapkan) hingga usia lanjut. Adalah kurang tepat bila ada seseorang berkomentar, "Kasihan, anak masih kecil sudah mendatangi psikiater."
Selain psikiater, kita juga mengenal psikolog. Kalau psikiater mengurusi kesehatan jiwa, maka psikolog mengurusi bidang lebih luas lagi. Selain kesehatan jiwa, psikolog juga mengurusi kecerdasan, bakat, atau kepribadian seseorang. Dalam bertugas, psikiater bisa didampingi psikolog klinik sebagai mitra kerja.
Berbeda dengan sakit badan, semakin parah sakit jiwa seseorang, semakin ia tak menyadari kondisinya yang sakit. Ini terjadi lantaran pemahaman dirinya berkurang. Akibatnya, pasien tidak mau datang berobat dan tidak mau menggunakan obat yang diperlukan. Sebagai orang sehat jiwa, sudah sepatutnya kita membantu orang yang sakit jiwa, bukannya malah melecehkan atau menertawakannya. Bukankah dia sendiri tidak menginginkan keadaan seperti itu? Kita pun tak perlu malu mengunjungi psikiater karena ahli kesehatan jiwa ini tidak cuma untuk orang sakit jwa tapi juga untuk yang sehat jiwa.
(Sumber: Intisari)