Namun, kita tidak bisa membuat siapa pun, termasuk keluarga pasangan, untuk menyukai kita. Yang bisa disikapi adalah bagaimana menanggapi kritik yang tidak membangun/meracuni.
“Upayakan memahami terlebih dahulu. Kritik (sepahit apa pun) sebagai upaya agar kita bisa fit in dengan keluarga pasangan,” Rima menyarankan. Jika misalnya kita dikritik karena tidak bisa masak, dan kenyataannya memang demikian, ikuti saja.
Siapa tahu karena dikritik, kita termotivasi untuk belajar hingga menjadi jago masak yang masakannya disukai banyak orang. “Tentang apakah keluarga pasangan bisa diminta berhenti mengkritik, itu bukan ‘tugas’ kita.”
Dengan begitu, tegas Rima, kita hanya perlu mengubah realita internal saja. Kita menerima “pahitnya kritik”, menerima kata-kata pedas, sebagai cara untuk meningkatkan kualitas diri kita.
Sedangkan realita eksternal, mertua suka mengkritik, susah untuk ditiadakan atau dihapus, itu soal lain.
--
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari Ekstra September 2013 dengan judul asli “Melebur Dalam Keluarga Tanpa Hancur”. Ditulis oleh Rusman Nurjaman.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR