Pengantin dan Keluarga Baru (4): Beri Dulu Dapat Kemudian

Ade Sulaeman

Editor

Pengantin dan Keluarga Baru (4): Beri Dulu Dapat Kemudian
Pengantin dan Keluarga Baru (4): Beri Dulu Dapat Kemudian

Intisari-Online.com - Bagaimanapun tak ada yang bisa menjamin relasi dengan keluarga besar pasangan bakal bebas konflik. Solusinya, perlu trik tertentu agar konflik bisa dikelola dan relasi yang terjalin berdampak positif.

Psikolog Carl Semmelroth dalam buku The Anger Habit in Relationships: A Communication Handbook for Relationships, Marriages and Partnerships (2005), menegaskan bahwa tidak ada resep tunggal agar kita bisa diterima di lingkungan keluarga pasangan.

Masih menurut Carl, ada banyak bentuk relasi yang bisa dikembangkan saat kita menjalin hubungan, baik dengan mertua ataupun saudara ipar. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan komunitas.

Keluarga bisa dipandang laiknya komunitas yang disatukan oleh minat atau tujuan yang sama sehingga berhasil membangun ikatan yang intens dan positif.

Sementara itu Rima Olivia, psikolog keluarga di Jakarta, mengatakan, dalam sebuah komunitas, amat penting untuk memikirkan: apa yang bisa saya berikan pada komunitas ini, bagaimana saya bisa berbagi, atau aktivitas apa yang bisa saya nikmati jika dilakukan bersama.

“Perbedaan sudah pasti ada dan konflik adalah tanda bahwa hubungan itu sehat dan berkembang,” katanya.

Demi kontribusi positif, lanjut Rima, dahulukanlah memberi sebelum mendapatkan. Misalnya, memberi perhatian dan kasih sayang, atau menjadi kakak/adik yang asyik bagi ipar.

Maka, dengan sendirinya, komunitas baru yang kita masuki akan menyesuaikan diri dengan kita. Ini alamiah, karena orang cenderung mendekat ke orang yang dianggap asyik dan menyenangkan.

“Jika sibuk sendiri dan hanya memperhatikan pasangan, memang sulit. Kita pun akan lelah karena ‘menjaga’ agar tidak konflik. Jadi, natural saja,” sambung Rima.

Agar dapat mudah diterima di keluarga pasangan, Rima menyarankan, untuk mulai dengan kemauan “belajar” memahami mereka. Pikirkan, apa kira-kira yang bisa dilakukan untuk berbagi dan menikmati kebersamaan.

Selain itu, fokus pada kesamaan, dan anggap perbedaan sebagai sesuatu yang menarik untuk dipahami, bukan dijadikan alasan untuk menghindari. Setiap hubungan menjadi dinamis ketika diawali dengan berangkat dari upaya memahami.

Dalam kehidupan rumah tangga, kritik juga muncul dari mana saja, terutama dari keluarga pasangan.

Namun, kita tidak bisa membuat siapa pun, termasuk keluarga pasangan, untuk menyukai kita. Yang bisa disikapi adalah bagaimana menanggapi kritik yang tidak membangun/meracuni.

“Upayakan memahami terlebih dahulu. Kritik (sepahit apa pun) sebagai upaya agar kita bisa fit in dengan keluarga pasangan,” Rima menyarankan. Jika misalnya kita dikritik karena tidak bisa masak, dan kenyataannya memang demikian, ikuti saja.

Siapa tahu karena dikritik, kita termotivasi untuk belajar hingga menjadi jago masak yang masakannya disukai banyak orang. “Tentang apakah keluarga pasangan bisa diminta berhenti mengkritik, itu bukan ‘tugas’ kita.”

Dengan begitu, tegas Rima, kita hanya perlu mengubah realita internal saja. Kita menerima “pahitnya kritik”, menerima kata-kata pedas, sebagai cara untuk meningkatkan kualitas diri kita.

Sedangkan realita eksternal, mertua suka mengkritik, susah untuk ditiadakan atau dihapus, itu soal lain.

--

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari Ekstra September 2013 dengan judul asli “Melebur Dalam Keluarga Tanpa Hancur”. Ditulis oleh Rusman Nurjaman.