Bagaimana membawa arah dialog nanti, apakah perlu "pendekatan kultural" menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Jawa halus, juga mengenai pakaian apa yang pantas dikenakan. Akibatnya, esoknya kami terlambat bangun.
Apalagi mobil pinjaman baru tersedia pukul 08.00 WIB pagi itu. Maka setelah melalui proses gerabak-gerubuk, kami pun berangkat pukul 08.30. Jarak tempuh dari pangkalan kami di daerah Pasarminggu, Jakarta Selatan, menuju kediaman Pak Harto di Jln. Cendana no. 8 Menteng, Jakarta Pusat, sekitar 15 km.
Tapi, melihat begitu banyak titik kemacetan, kami jadi was-was, jangan-jangan terlambat tiba di tujuan. Umpatan dalam hati kami seragam: salah sendiri bangun kesiangan! Saya yang kebagian tugas mengemudi jadi sadar, perlu sedikit kenekatan dan keterampilan ala pembalap.
Detektor metal seperti di bandara
Setelah meliuk-liuj menerobos kemacetan, mobil pun sampai di kawasan Menteng. Ketegangan belum reda ketika kami dapati banyak jalan yang ditutup, dipersempit dengan pagar kawat berduri, atau dijaga aparat keamanan berseragam dan bersenjata lengkap.
Di setiap sudut jalan terdapat petugas keamanan yang rasanya selalu mengamatai. Betapa groginya kami mengetahui Jln. Kamboja, akses langsung menuju Jln. Cendana, ternyata ditutup. Saya putar haluan menuju Jln. Tanjung untuk berbelok ke Jln. Cendana dalam jalur satu arah.
Di ujung jalan itu kami berhenti dan melapor kepada sekitar lima anggota keamanan bersenjata lengkap. Kami pun dipersilakan memasuki Jln. Cendana yang terlihat lengang. Petugas mengingatkan agar saya memarkir mobil di sisi kira, tepat di depan paviliun di sayap kanan kediaman Pak Harto yang dijadikan pos keamanan.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi 1998, Kisah Sedih Soeharto Ditinggalkan Sendirian Oleh Orang-orang Kepercayaannya
Di pos yang dijaga tiga petugas berbaju safari itu kami melapor dan meninggalkan kartu identitas. Sambil lalu saya melihat jam dinding, temyata waktu menunjukkan pukul sembilan. Kami tepat waktu!
Kemudian kami diantar masuk ke halaman rumah Pak Harto melalui pintu yang dilengkapi alat deteksi logam seperti lazim terdapat di bandara. Sampai di teras samping, dua anggota keamanan tak berseragam memeriksa bawaan kami, termasuk kamera foto saya.
Dari tempat itu kami diantar menuju ke ruang tunggu tamu, setelah sekali lagi melalui pintu detektor metal. Di situlah kepanikan terjadi karena alarm berbunyi ketika saya lewat. Setelah dicari-cari, temyata gesper logam pada ikat pinggang saya pangkal sebabnya.
Di ruang tunggu ber-AC itu terdapat dua set furnitur berukir. Pada dinding terdapat beberapa lukisan dan foto "Keluarga Besar Jln. Cendana", dari anak, menantu, cucu, sampai cicit Pak Harto.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR