Perusahaan lokal yang mendapat untung dari Freeport tentu bukan karena faktor kompetensi dan kinerja mereka dalam bidangnya masing-masing. Jika begitu soalnya, tentu masih banyak perusahaan lokal lain yang lebih kompeten dari mereka. Perusahaan itu justru menjadi mitra bisnis Freeport, karena pemiliknya adalah orang-orang kuat di negeri ini.
Bagi Freeport Indonesia, mendapat mitra bisnis yang dekat dengan penguasa, akan mempermudah ekspansi bisnis mereka di Grasberg. Keamanan investasi mereka juga bisa terjaga dan tekanan pebisnis lokal untuk menyerukan nasionalisasi Freeport mengecil.
Sementara, bagi penguasa, masuknya perusahaan lokal untuk berbisnis dengan Freeport sebagai balas budi karena memang mereka telah banyak mengeluarkan dana ketika kampanye pemilihan pemimpin negeri ini.
Korporasi lokal-global kemudian bahu- membahu membendung renegosiasi kontrak.Padahal, baik korporasi global maupun korporasi lokal memiliki karakter sama. Dua-duanya tak dapat menjamin keadilan sosial, mengangkat derajat kaum miskin alias membunuh demokrasi dengan bendera logika kepentingan diri (self-interest).
Jika renegosiasi kontrak gagal, pemerintah kehilangan momen mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 dan korporasi tetap permanen menjarah habis kekayaan negeri alam kita di Grasberg, Papua.
Kesejahteraan rakyat terbengkalai, lingkungan tak terurus, dan pembagian keuntungan tak adil. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti tragedi kematian yang merenggut nyawa 28 pekerja di lubang tambang Big Gossan (14/5/2013) milik Freeport diabaikan begitu saja. Semua itu terjadi karena multi-kepentingan yang ingin mengais untung dari Freeport.
Kembalikan martabat konstitusi
Langkah Menteri ESDM melaporkan politisi Senayan yang ingin mendapat jatah bisnis Freeport perlu kita dukung. Langkah itu penting untuk membongkar kepentingan politik yang menghambat renegosiasi kontrak dan sebagai bagian dari reformasi tata kelola kelembagaan DPR.
DPR bertugas mengawasi kinerja pemerintah untuk mempercepat renegosiasi kontrak Freeport agar tak keluar dari konstitusi UUD 1945. Renegosiasi harus dapat meningkatkan penerimaan negara agar rakyat sejahtera.
DPR seharusnya mengawal kinerja pemerintah agar Freeport membangun smelter di Papua, bukan bekerja meminta jatah saham atau menarik untung berbisnis bersama Freeport.
Pembangunan smelter di Papua dapat meningkatkan efek pengganda (multiplier effect) bagi pembangunan dan mengurai kesenjangan pembangunan di Papua. Pembangunan smelter di Papua penting untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, termasuk Papua.
Nasionalisasi Freeport memang tak mudah karena pemerintah harus berhadapan dengan multi-kepentingan, baik negara asal Freeport, Amerika Serikat, maupun pengusaha lokal yang mengais untung dari Freeport. Maka, butuh pemimpin tegas dan kuat untuk mengembalikan kedaulatan tambang kita di Grasberg ke pangkuan konstitusi UUD 1945.
Pemimpin tegas tak loyo berhadapan dengan kekuatan asing dan oligarki politik lokal.
Demi mengembalikan martabat konstitusi UUD 1945, Presiden perlu mengambil keputusan tegas agar tak memperpanjang kontrak karya Freeport setelah tahun 2021, jika perusahaan itu tak mau membangun smelter pengolahan tembaga di Papua, mendivestasikan saham ke pihak nasional, menciutkan luas lahan, dan menaikkan penerimaan negara, sesuai dengan isi poin renegosiasi kontrak.
Akhirnya, Presiden harus diingatkan bahwa tambang di mana saja akan habis cadangannya jika dieksploitasi besar-besaran. Penurunan deposit tambang, seperti tembaga menunjukkan bahwa sektorpertambangan selalu ada titik puncak berhenti berproduksi.
Investor hanya menginvestasikan modalnya pada saat lokasi pertambangan masih memiliki potensi tinggi. Setelahnya, mereka akan melepaskan areal pertambangan dan meninggalkan kerak-kerak tambang tanpa adanya reklamasi pasca tambang.
--
Ferdy Hasiman, Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Freeport dan Bisnis Orang Kuat".
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR