PT Ancora International Tbk (OKAS), misalnya, menyediakan pasokan ammonium nitrate (bahan peledak) sebesar 40.000 ton tahun 2011 dan meraup pendapatan Rp 281 miliar dari Freeport.
PT Kuala Pelabuhan Indonesia (anak usaha PT Indika Energi Tbk) menyediakan jasa pelabuhan dan untung Rp 233 miliartahun 2011. Darma Henwa (Bakrie Group) mengantongi kontrak senilai 11 juta dollar AS untuk membangun dua terowongan 4,8 kilometer dan akses jalan 4.000 meter.
Sementara Pangan Sari Utama menyediakan katering seluruh karyawan Freeport. Bisnis ini tentu bukan bisnis kecil, tetapi bisnis ratusan miliar rupiah.
Semua perusahaan-perusahaan di atas adalah milik orang-orang kuat di Republik ini. Freeport adalah bisnis orang kuat; politisi, penguasa partai politik dan pengusaha yang memiliki akses dekat dengan penguasa atau yang memiliki nilai tawar besar dengan pemerintah.
Pola kerja sama Freeport dengan perusahaan-perusahaan lokal tergantung dari rezim yang memimpin Republik.
Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Freeport Indonesia lebih memberi karpet merah kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dekat akses kekuasaan.
Sementara pada zaman pemerintahan Jokowi-Kalla, pola kerja sama itu kelihatan akan bergeser ke perusahaan milik negara (BUMN). Pergeseran ini boleh jadi karena pemerintahan Jokowi-Kalla mau memberi ruang besar kepada perusahaan BUMN dalam membangun negeri ini.
Freeport Indonesia telah melakukan penjajakan kerja sama dengan PT Bukit Asam (Tbk), PT Pindad, dan PT Bahana untuk meningkatkan penyerapan penggunaan barang dan jasa dalam negeri atau lokal konten dengan harga yang kompetitif.Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mengatakan realisasi belanja lokal Freeport Indonesia per 10 Juli 2015 mencapai 422 juta dollar AS. (Baca Kontan.co.id, 20/9/2015)
Jika kerja sama dengan BUMN terealisasi, perusahaan-perusahaan seperti Ancora Resources dan AKR Corporindo merugi.
Begitupun jika Freeport diwajibkan membangun smelter di Papua, maka PT Kuala Pelabuhan Indonesia (PT Indika Energi Tbk) yang menyediakan jasa pelabuhan untuk Freeport tak dapat mengais untung lagi dari Freeport.
Begitupun perusahaan jasa pengangkutan konsentrat, seperti Meratus Line (Charles Menero), akan merugi karena tak bisa mengangkut konsentrat dari Mimika menuju smelter Freeport di Gresik.
Ketika pemerintah pada Januari 2014, mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah ke luar, pasti banyak perusahaan pengapalan yang mendapat jatah bisnis dari Freeport berteriak kencang, karena tak ada lagi pasokan bahan tambang untuk diekspor.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR