Intisari-Online.com -Ketika bepergian dengan seorang teman dari Jakarta ke Sukabumi, saya duduk di kursi penumpang sedangkan teman saya menyetir. Jalanan agak ramai. Saat mobil melaju dengan kecepatan sedang, tiba-tiba saja sebuah motor berkelebat menyalip dari sisi kanan mobil dan langsung masuk ke jalur mobil kami karena dari arah berlawanan ada kendaraan yang melaju kencang. Spontan teman saya menginjak rem, membunyikan klakson keras-keras, sambil mengumpat tak terkendali.
Selang beberapa menit, ketika dia sudah tidak emosi saya iseng bertanya. "Memang apa pengaruhnya kalau kamu marah-marah begitu, sambil membunyikan klakson keras-keras? Apakah si pengendara motor berhenti dan minta maaf?"
Agak terdiam teman saya itu menjawab bahwa marah ia keluarkan sebagai ungkapan kekesalan karena melihat orang ugal-ugalan. Saya pernah mengalami hal serupa. Lalu ditanya pertanyaan serupa. Saya menjawab yang mirip dengan teman saya itu. Si penanya, orang biasa namun sudah sepuh dan mendalami meditasi, tidak membenarkan atau menyalahkan atas sikap dan jawaban saya.
"Marah memang menjadi pelampiasan atas kekesalan hati. Namun sadarkah bahwa dengan marah kamu kehilangan banyak energi? Pikiran kita menjadi tidak tenang, tidak fokus. Dalam banyak hal, marah bukan solusi. Jika kamu marah-marah sambil mengemudi seperti ini bisa-bisa malah menimbulkan celaka. Lalu, apakah dengan marah-marah lalu lintas menjadi seperti yang kamu inginkan?" bapak di samping saya itu bertutur dalam irama yang terjaga.
Saya jadi teringat dengan ucapan seorang motivator. "Apa yang di luar kuasamu, lupakanlah. Jangan kamu pikirkan sebab akan menguras energimu." Motivator ini bercerita tentang hilangnya barang-barang berharga miliknya karena dirampok. Setelah melapor ke polisi dia pun melupakannya. Tak mau mengingat-ingat atau menyesali keteledorannya. Buat apa? Begitu katanya. Apakah dengan segala penyesalan atau sumpah serapah ke perampok akan mengembalikan barang-barangnya?
Semenjak itu saya berusaha untuk meredam marah. Terlebih saat mengendarai kendaraan. Jika sedang dalam kemacetan dan ada mobil lain menyodok ingin merebut posisi ya kalau masih dalam batas kewajaran ya saya biarkan saja. Enjoy aja! Begitu juga jika terpaksa harus berhenti di belakang angkutan kota yang sedang menurunkan penumpang tapi tidak meminggirkan kendaraannya, saya tidak membunyikan klakson berkali-kali. Jika emosi langsung menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Seperti kata Aristoteles, semua orang bisa marah. Itu mudah! Akan tetapi, marah dengan orang yang tepat, pada kadar yang sewajarnya, di tempat yang cocok, dan untuk tujuan yang benar ... itu baru susah.