Oleh sebab itu, saya mencoba menyempatkan diri melihat dermaga tua meski teman-teman memilih kembali ke kampung. Kebetulan ada yang menawari motor untuk menuju ke sana. Kami terguncang-guncang di atas sepeda motor karena kondisi jalan yang terjal berliku dan licin. Di antara rerimbunan semak belukar dan pepohonan saya sempat menjumpai dua buah bangunan yang menurut informasi merupakan gudang persenjataan.
Kami tiba di perkampungan sore hari. Menurut ibu keucik, malam itu ada perahu yang akan menyeberang ke Banda Aceh dari dermaga Desa Alue Raya. Kami sepakat untuk mengejar perahu itu. Ternyata perjalanan ke Desa Alue Raya cukup berat, terlebih suasana malam dan rinai hujan yang menyertai kami. Karena tak menyangka medannya seperti itu, kami pun tak mempersiapkan dengan serius bekal dan peralatan.
Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan beberapa kumpulan kerbau. Menurut perasaan saya, kerbau-kerbau ini selalu melirik ke arah jas hujan saya yang berwarna merah. Aneh! Empat jam kemudian sampailah kami di Desa Alue Raya. Begitu melihat ada kedai, langsung kami serbu untuk menyantap mi rebus.
Perut terganjal, kami segera mencari informasi soal perahu yang akan menyeberang ke Banda Aceh. Tapi, astaga naga ... dari beberapa orang yang kami tanya, tak satu pun yang menyatakan ada perahu yang akan ke Banda Aceh malam itu. Kami pun tercekat diam. Entah bagaimana menggambarkan perasaan kami, manakala ingat perjuangan yang kami tempuh dengan ngotot. Informasi yang kami terima, perahu baru akan menyeberang ke Banda Aceh dua hari lagi.
Sisa hari yang ada kami gunakan untuk mengelilingi Desa Alue Raya. Lumayan, banyak yang bisa dilihat, termasuk habitat burung beo. Bisik-bisik juga kami dengar tentang ladang ganja di daerah ini. Tapi tidak kami tanggapi. Sebagai oleh-oleh saya cuma membawa beberapa kilogram cabe rawit andalan Pulo Aceh. Cabe ini meski kecil, panjangnya hanya 1 - 2 cm, tapi soal rasa ruarr biasa pedasnya.
Akhirnya, pukul 02.00 WIB kami bertolak menuju Banda Aceh. Perjalanan malam sudah tidak membuat kami takut lagi, meski beberapa kali mesin tempel mati. Bisa jadi karena perahu yang kami naiki saat itu lebih besar dari perahu sebelumnya. Selain itu, kami juga sudah memiliki tabungan pengalaman dihempas badai. Saya pun menikmati perjalanan selama tujuh jam itu.
Jadi, kalau Anda ingin sedikit berpetualang, jangan ragu-ragu kunjungilah pulau-pulau Pulo Aceh. (Dyah Hidayati/Intisari Oktober 2003)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR