Intisari-Online.com - Mungkin orang hanya kenal Sabang atau Pulau Weh sebagai tujuan wisata di Aceh. Wilayah ini memang relatif aman di tengah kecamuk perang di Propinsi Nagroe Aceh Darussalam. Namun, tak ada salahnya melirik sedikit ke gugusan pulau yang letaknya tak jauh dari Pulau Weh. Di sana kita akan menikmati sensasi yang tak kalah asyiknya.
Gugusan pulau yang masuk wilayah Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, ini memiliki luas sekitar 240,75 km2. Ada lima buah pulau kecil di sini: Pulau Nasi, Pulau Breueh (Pulau Beras), Pulau Bunta, Pulau Batee, dan Pulau Kresik. Kecamatan Pulo Aceh berbatasan langsung dengan Selat Malaka di sebelah Utara dan Samudra Indonesia di sebelah barat, timur, dan selatan. Bentang alamnya yang bergunung-gunung dan berhutan lebat merupakan salah satu sisi menarik untuk dikunjungi.
Bertolak dari Dermaga Uleelheu di pinggiran Banda Aceh, perjalanan laut segera dimulai. Perahu kecil bermesin tempel dengan muatan sekitar dua puluh orang berhimpitan itu memberikan sensasi tersendiri di tengah anyirnya aroma ikan. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni sempat terlampaui sebelum akhirnya boat kayu itu mendarat dengan mulus di dermaga Desa Deudap, Pulau Nasi. Perjalanan itu memakan waktu tak lebih dari satu setengah jam.
Makam tanpa nisan
Walaupun badan terasa gerah, saya bertahan untuk menunda mandi. Sebab, pesan dari beberapa orang yang pernah berkunjung ke pulau ini sangat jelas berbunyi, kalau tak ingin terkena malaria syaratnya jangan mandi pada hari pertama kita datang dan jangan minum air kelapa! Nah ... gampang-gampang susah.
Esoknya kami singgah ke desa tetangga, Alue Riyeung, untuk mengintip sebuah makam kuno yang cukup kondang di kalangan masyarakat setempat. Makam ini memang cukup menarik, sayang sepasang nisannya, yang tentu juga indah, raib entah ke mana.
Badan makam terbuat dari batu alam berpahatkan motif tradisional, antara lain motif geometris dan sulur-suluran. Bagian atas dipenuhi relief-relief kaligrafi Arab yang rumitnya cukup lumayan sehingga kami pun harus bersusah payah untuk bisa membacanya.
Objek ini dikenal dengan sebutan Makam Raja Kandang. Tepat di sebelah timur makam terdapat batu bentukan yang dipercayai sebagai pijakan sang tokoh saat akan menunggang kuda. Ihwal hilangnya kedua nisan, beredar banyak versi yang pada intinya menuding pihak pemerintah kolonial Belanda (yang berkuasa di Aceh pada saat itu) sebagai biang keroknya.
Raja Kandang sendiri masih tidak jelas identitasnya. Sebagian sumber menyebutkan ia utusan Sultan Iskndar Muda, penguasa Kerajaan Aceh Darussalam (1607 - 1636 M) untuk mengelola pulau ini sebagai gudang bahan pangan yang akan mendukung penyediaan bahan pangan di ibukota kerajaan.
Sebaliknya, sumber lain justru berpendapat bahwa Raja Kandang adalah tokoh yang disingkirkan dari pemerintahan dan dibuang ke pulau ini untuk menghambat pergerakannya. Lain pihak meyakini bahwa beliau adalah pelarian dari Kerajaan Melayu Deli setelah penyerangan Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam.
Sore harinya kami tiba di Desa Pasi Janeng. Setelah sejenak melepas rasa penat dengan menyantap mi dan segelas es sambil menikmati suasana laut, kami menuju sebuah meunasah (surau) tua. Kami tertarik pada sebuah pelampung kapal berukuran besar, berbentuk bulat yang digantung pada sebatang pohon besar di halaman meunasah. Pelampung ini merupakan salah satu jejak keberadaan bangsa asing di pulau ini. Sebelumnya penduduk Desa Rabo pernah pula menemukan sebuah guci berisi beberapa keping mata uang Spanyol.
Rencana semula kami mengejar waktu agar bisa menyeberang ke Pulau Breueh pada hari itu juga. Namun, angin kencang dan persiapan yang kurang memadai membuat kami mengurungkan niat itu. Lagipula dari Pasi Janeng ternyata tidak ada perahu yang membuka trayek menyeberang ke Pulau Breueh. Kami memutuskan untuk menginap semalam di Pasi Janeng, desa penghasil ikan asin yang sangat lezat itu, sambil mencari perahu untuk menyeberangkan kami ke P. Breueh. Akhirnya kami memperoleh perahu juga meski harus merogoh kocek Rp 125.000,-. Lumayan mahal untuk jarak yang menurut kami dekat itu.
Keesokan harinya kami langsung menuju dermaga. Di luar dugaan, perahu yang disediakan ternyata jauh lebih kecil dari yang kami tumpangi kemarin. Kapasitas penumpangnya mungkin tak sampai sepuluh orang. Tapi apa boleh buat, daripada urusan jadi tambah panjang lebih baik kami iyakan saja. Kebetulan angin juga masih bertiup dengan ramah. Pagi itu kami tinggalkan Pasi Janeng yang suasana alamnya cukup meriah untuk ukuran sebuah desa di pulau terpencil. Sayangnya, ada sebuah pantai indah di lokasi ter-sebut yang tidak sempat kami kunjungi.
Meramal di tengah badai
Semula kami sangat menikmati perjalanan ini. Kami (berempat) didampingi si pemilik perahu dan ”asisten”-nya terayun-ayun lembut dibuai ombak. Setengah perjalanan telah kami lalui dengan aman. Menurut informasi, perjalanan ini membutuhkan waktu antara 1 - 1,5 jam.
Mula-mula perahu berjalan pelan. Namun, lama-kelamaan perahu terasa oleng, dan semakin bertambah keras. Si pemilik perahu memerintahkan saya pindah ke tengah karena posisi perahu mulai tidak seimbang. Angin yang mendadak bertiup sangat kencang menciptakan gelombang-gelombang besar yang menakutkan. Perahu semakin terguncang. Ombak mulai meninggi, ”asisten” sibuk menguras air yang mulai masuk ke badan perahu, dan tiba-tiba mesin tempel mati! Suasana yang santai berubah tegang, sampai-sampai seorang rekan berzikir dengan keras.
Saya sempatkan melirik ke arah pemilik perahu. Tampaknya ia tidak terpengaruh dengan perubahan alam yang tiba-tiba itu. Entah sudah terbiasa atau justru karena pasrah. Dengan tenang ia malah mengajak ngobrol rekan-rekan saya. Resep ini justru ampuh meredam ketegangan teman-teman. Apalagi ia punya keahlian meramal. Ia bisa menebak dengan tepat ciri-ciri fisik pacar rekan saya. Saya sempat dikomentari soal cita-cita yang katanya setinggi langit. Wah!
Setengah jam kemudian persoalan mesin bisa diatasi. Perahu pun melaju menembus badai dan mendarat dengan mulus di Meulingge. Dengan basah kuyup kami menginjakkan kaki di P. Breueh. Tujuan kami di sini adalah sebuah mercusuar peninggalan Belanda di Ujong Peuneng, Desa Meulingge. Untuk maksud itu, kami bertandang ke rumah keucik (kepala desa) setempat guna sowan dan bertanya soal rutenya.
Lokasi mercusuar adalah di ujung tebing, sekitar 2 - 3 km dari kampung dengan jalan yang sangat menanjak. Dengan napas ngos-ngosan, kami sampai juga di pelataran mercusuar. Tak sia-sia kami menempuh perjalanan begitu melihat bangunan setinggi 45 m yang berdiri gagah di ujung tebing. Dari kejauhan mirip batang korek api.
Didampingi seorang penjaga mercusuar kami mulai menapaki lantai demi lantai sambil mengamati tiap unsur bangunan yang kokoh. Ciri khas bangunan Eropa! Tiap lantai dihubungkan dengan tangga melingkar menuju puncak. Lampu mercusuar tentu saja berada di puncak bangunan dengan sisi luarnya di kelilingi balkon. Dari balkon inilah kami bisa memandang lautan lepas sambil menikmati hijaunya P. Breueh dari ketinggian.
Bangunan berlantai delapan ini dilengkapi dengan inkripsi dari plat kuningan yang memuat sejarah pendirian dan tokoh-tokoh yang mensponsorinya. Antara lain termuat tulisan ”Willem’s Toren” dan angka tahun ”1875”, serta beberapa nama pejabat dan tokoh pen-ting Belanda. Antara lain kepala Departemen Kelautan Hindia Belanda.
Kompleks mercusuar ini dilengkapi dengan bangunan pendukung, yaitu bangunan memanjang yang terdiri atas ruangan-ruangan sempit. Beberapa puluh meter dari menara, dibatasi oleh tangga naik terdapat reruntuhan bangunan yang telah ditumbuhi pohon besar dan semak belukar. Kesan angker sangat kental mewarnai reruntuhan tersebut. Apalagi ada yang bilang, bangunan ini dulunya berfungsi sebagai penjara bawah tanah.
Tertipu keucik
Tampaknya P. Breueh merupakan salah satu tempat yang dikhususkan sebagai lokasi pengawasan maritim di kawasan Selat Malaka dan Samudra Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pulau tersebut melengkapi keberadaan P. Weh sebagai kota bandar atau kota perdagangan. Selain mercusuar, proses pengawasan itu didukung dengan fasilitas-fasilitas lain berupa dermaga serta gudang persenjataan.
Oleh sebab itu, saya mencoba menyempatkan diri melihat dermaga tua meski teman-teman memilih kembali ke kampung. Kebetulan ada yang menawari motor untuk menuju ke sana. Kami terguncang-guncang di atas sepeda motor karena kondisi jalan yang terjal berliku dan licin. Di antara rerimbunan semak belukar dan pepohonan saya sempat menjumpai dua buah bangunan yang menurut informasi merupakan gudang persenjataan.
Kami tiba di perkampungan sore hari. Menurut ibu keucik, malam itu ada perahu yang akan menyeberang ke Banda Aceh dari dermaga Desa Alue Raya. Kami sepakat untuk mengejar perahu itu. Ternyata perjalanan ke Desa Alue Raya cukup berat, terlebih suasana malam dan rinai hujan yang menyertai kami. Karena tak menyangka medannya seperti itu, kami pun tak mempersiapkan dengan serius bekal dan peralatan.
Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan beberapa kumpulan kerbau. Menurut perasaan saya, kerbau-kerbau ini selalu melirik ke arah jas hujan saya yang berwarna merah. Aneh! Empat jam kemudian sampailah kami di Desa Alue Raya. Begitu melihat ada kedai, langsung kami serbu untuk menyantap mi rebus.
Perut terganjal, kami segera mencari informasi soal perahu yang akan menyeberang ke Banda Aceh. Tapi, astaga naga ... dari beberapa orang yang kami tanya, tak satu pun yang menyatakan ada perahu yang akan ke Banda Aceh malam itu. Kami pun tercekat diam. Entah bagaimana menggambarkan perasaan kami, manakala ingat perjuangan yang kami tempuh dengan ngotot. Informasi yang kami terima, perahu baru akan menyeberang ke Banda Aceh dua hari lagi.
Sisa hari yang ada kami gunakan untuk mengelilingi Desa Alue Raya. Lumayan, banyak yang bisa dilihat, termasuk habitat burung beo. Bisik-bisik juga kami dengar tentang ladang ganja di daerah ini. Tapi tidak kami tanggapi. Sebagai oleh-oleh saya cuma membawa beberapa kilogram cabe rawit andalan Pulo Aceh. Cabe ini meski kecil, panjangnya hanya 1 - 2 cm, tapi soal rasa ruarr biasa pedasnya.
Akhirnya, pukul 02.00 WIB kami bertolak menuju Banda Aceh. Perjalanan malam sudah tidak membuat kami takut lagi, meski beberapa kali mesin tempel mati. Bisa jadi karena perahu yang kami naiki saat itu lebih besar dari perahu sebelumnya. Selain itu, kami juga sudah memiliki tabungan pengalaman dihempas badai. Saya pun menikmati perjalanan selama tujuh jam itu.
Jadi, kalau Anda ingin sedikit berpetualang, jangan ragu-ragu kunjungilah pulau-pulau Pulo Aceh. (Dyah Hidayati/Intisari Oktober 2003)