Intisari-Online.com -Tragedi Chernobyl telah mengubah semua kehidupan warga Pripyat—kota terdekat dari reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl: kehidupan, kegembiraan, dan keluarga, dan lain sebagainya.
(Baca juga: Gotham Shield, Operasi Khusus yang Disiapkan AS untuk Hadapi Serangan Nuklir, Termasuk dari Korut)
Setelah 31tahun, beberapa orang memutuskan kembali ke kota yang masuk zona berbahaya Chernobyl ini. Bukan untuk tinggal, tapi untuk berdamai dengan masa lampau.
Pagi 26 April 1986 itu, tak seorang pun mengira bahwa ledakan di reaktor nuklir nomor empat di PLTA Chernobyl akan berubah menjadi bencana nuklir terbesar sepanjang sejarah. “Waktu itu begitu panas, tapi cuaca sangat baik,” ujar Elena Kuprianova yang berusia 12 tahun ketika dievakuasi dari Pripyat waktu itu.
Sejak itu, kota dengan sekitar 50 ribu penduduk ditetapkan sebagai bagian dari zona eksklusi dan tetap tak berpenghuni hingga sekarang.
(Baca juga: Bungker Super Mahal Ini Diklaim Sanggup Menghadapi 20 Kiloton Ledakan Nuklir, Harganya Bikin Kita Menganga)
“Semua pohon-pohon sedang mekar dan saya pikir, ‘apa benar ada radiasi?’ Terlebih cuaca sangat baik di luar, dan Anda tidak akan melihat (tanda) apa-apa,” tambah Elena. Dekorasi Natal yang masih tersisa di salah satu rumah di zona berbahaya Chernobyl/Metro.co.uk
Keluarga Elena dan sebagian besar warga kota lalu dievakuasi menggunakan bus. Mereka hanya diperintahkan untuk membawa barang seperlunya karena evakuasi akan berlangsung selama tiga hari saja. Mereka hanya membawa beberapa dokumen dan sebuah koper kecil.
“Ini sangat menyakitkan bahwa begitu banyak orang yang hidupnya hancur, bahwa, kota yang begitu indah ini harus ditinggalkan. Sulit rasanya di jiwa,” katanya.
Suami Zoya Perevozchenko, Valeriy, adalah seorang mandor di reaktor yang meledak itu. Zoya tidak tahu apa-apa, tapi ia merasa aneh ketika suaminya tak kunjung pulang dari jaga malam. Ia juga merasakan bahwa udara sekitar tiba-tiba menghangat dan melihat orang-orang berlarian menggunakan masker.
“Tapi merek tidak menjelaskan semuanya kepada kami langsung, itu semua rahasia. Dan anak-anak berjalan di sekitar tanpa mengenakan alas kaki di genangan air,” tutur Zoya.
Siangnya, ia menemukan suaminya berbaring di sebuah klinik lokal. Ia telah mendapatkan pengobatan dengan dosis tinggi akibat radiasi yang telah membakar kulit wajahnya. Ia kemudian diterbangkan ke Moskow untuk mendapatkan pengobatan yang lebih laik, tapi meninggal 45 hari kemudian—satu dari 31 korban tewas akibat radiasi.
Zoya sendiri akhirnya pindah ke Kiev bersama dua anaknya.
Kembali ke kota model Soviet yang dibangun pertama kali pada 1970-an itu, Zoya merasa sulit berdamai dengan masa lampau. Ia hampir tidak menemukan bekas apartemennya, semuanya telah berubah menjadi semak belukar dengan pohon tumbuh di sana-sini.
Semua kamar kosong, kaca hilang dari jendelanya, dan semuanya hancur. Yang membuat Zoya lebih kesal adalah semua barang-barang yang ia tinggalkan telah hilang tak berbekas. Meskipun ada larangan mengambil apa pun dari zona radiasi, beberapa barang telah diselundupkan keluar zona oleh penjarah.
“Kami mengunci apartemen kami ketika meninggalkannya. Penjarah tidak mungkin bisa membukanya, kecuali mereka mendobraknya,” lanjut Zoya. “Kami masuk, dan rasanya ingin menangis, terdiam, dan seperti mati rasa ketika melihat semuanya. Rasa sakit itu, menggumpal di dalam dada.”
Meski rasa sakit itu tidak bisa dihilangkan begitu saja, Pripyat, bagi perempuan yang kini berusia 64 tahun itu, tetaplah rumahnya. Ia masih mengingat tiap sudut kota tersebut, seperti toko-tokonya, jalan-jalannya, dan tetenger lainnya. (Metro.co.uk)