Di kalangan peneliti prasejarah, Sangiran adalah primadona. Saking primadonanya, ia adalah sasaran empuk para pengepul fosil ilegal. Bahkan sampai libatkan ahli ternama.
Penulis: B. Soelist, koresponden untuk Majalah Intisari edisi Desember 1993, judul asli "Dilema Padang Purbakala Sangiran"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sangiran. Kemasyhurannya terekam dalam kitab ilmiah bangsa seberang. Sejak lama tempat ini menjadi ladang perburuan fosil yang tak henti diteliti dan dikaji.
Di Sangiran bisa ditemukan berbagai fosil manusia dan hewan purba, yang merupakan jejak kehidupan makhluk jutaan tahun silam.
Paleoantropolog legendaris G.H.R. von Koenigswald pernah menyatakan memang membikin iri. Dari segi stratigrafi, Sangiran merupakan situs hominid terlengkap di Jawa. Makanya, tahun demi tahun ada saja fosil yang bisa ditemukan.
Salah satu yang menghebohkan adalahtemuan tengkorak Pithecanthropus erectus, yang akhirnya menyeret Prof. Dr. Donald E. Tyler, ahli antropologi ragawi Universitas Idaho, AS, dan asistennya, Ir. Bambang Prihanto, ke meja hijau.
Keduanya didakwa telah mengaku-aku sebagai penemunya. Padahal, konon, fosil itu cuma mereka beli dari penduduk! "Tindakan mereka terlalu berani dan jelas melanggar UU RI No. 5/1992 tentang benda cagar budaya," ujar Drs. Nurhadi, M.Sc, ketika itu kepala Balai Arkeologi Yogyakarta.
Padahal, "Kalau mereka melapor lebih dulu, kami tentu akan membantu."
Muncul setelah hujan
Menurut SK Mendikbud 15 Maret 1977, kawasan cagar budaya Sangiran, Jawa Tengah, meliputi areal seluas 56 km2, yang mencakup empat kecamatan. Di antaranya Kalijambe, Gemolong, dan Plupuh (Kabupaten Sragen) serta Gondangrejo (Kabupaten Karanganyar).
Kawasan perbukitan gersang berketinggian 183 m di atas permukaan laut ini dibelah oleh Sungai Cemoro, anak Bengawan Solo.
"Sejak awal 1920-an, setiap tahun pasti ada temuan fosil penting," kata Toto Marsono, perintis Museum Sangiran. Uniknya, sebagian besar temuan itu justru berasal dari tangan penduduk, bukan ditemukan sendiri oleh peneliti.
Diduga lantaran situsnya sangat luas, berbukit, dan berjurang, sehingga menyulitkan penelitian. Kendala inikah yang membatasi daerah jelajah para peneliti, sehingga fosil-fosil yang mereka temukan sendiri kebanyakan cuma fosil hewan?
"Percaya atau tidak," ujar seorang pakar fosil yang enggan disebutkan namanya, "sejak penelitian dimulai pada 1976 sampai sekarang cuma berhasil ditemukan fosil manusia satu saja, berupa fosil gigi pada ekskavasi Ngebung di tahun 1990."
Selebihnya, semua temuan berharga berupa fosil manusia adalah temuan penduduk!
Sejak zaman von Koenigswald pada 1930-an penduduk Sangiran memang sudah terlatih dalam soal berburu fosil. Setiap kali hujan usai mengguyur kawasan Sangiran, penduduk biasanya akan berbondong-bondong menuruni lembah menaiki bukit, berburu fosil.
Siapa tahu ada fosil yang nongol ke permukaan lantaran tanahnya terkikis. "Sebelum 1980-an sering terjadi penggalian liar. Tapi, sekarang sudah berkurang, karena gencarnya penerangan mengenai arti penting benda tinggalan," kata Kiswandi, ketika itu kasi kebudayaan Depdikbud Kabupaten Sragen.
Sangiran memang tak tertandingi sebagai situs hominid terlengkap. Fosil bisa "muncul" begitu saja di mana pun. Di sawah, di ladang, di lembah, tanpa susah payah dicari.
Fosil tanduk kerbau sepanjang 2,32 cm, misalnya, ditemukan Sudar pada Desember 1989 di Desa Brangkal, Kecamatan Gemolong, saat sedang mencangkul. Sebelumnya, pada awal Januari tahun itu juga, di desa yang sama Muri menemukan gading gajah sepanjang 68 cm.
Menyusul pada awal Februari 1990 di Desa Krikilan ditemukan lagi fosil kura-kura purba.
Lahir "pasar fosil"
Melimpahnya kekayaan fosil bumi Sangiran ternyata pernah menarik minat para spekulan. Kasus Donald Tyler, yang ketika itu begitu hangat dibicarakan, barangkali bisa jadi contoh klimaks betapa transaksi fosil begitu mudahnya melecehkan ilmu pengetahuan.
Sementara Monument Ordonantie, undang-undang lama mengenai cagar budaya, seperti kurang punya gigi untuk mengikatkan sanksi hukum.
Satu bukti, pada 26 April 1980, 10 orang penggali liar berhasil menemukan rahang dan gading gajah purba sepanjang 2 meter! Di tengah penggalian, mereka menghubungi seorang tengkulak fosil.
Saat itu juga tengkulak kontan memberi mereka uang muka Rp50.000 (tahun 1980). Nanti kalau temuan berhasil diangkat dan lolos dari pengawasan pemerintah setempat mereka akan diberi lagi Rp200.000.
Sayang, temuan ini keburu tercium aparat. Tentu saja, petugas segera meminta mereka menyerahkan fosil itu kepada pemerintah. Tapi, mereka menolaknya mentah-mentah.
Mungkin, untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, sebagai upaya kompromi aparat menjanjikan uang sejumlah upah kerja mereka selama penggalian. Imbalannya, mereka mesti menyerahkan semua fosil. Betul saja, mereka pun minta "ganti rugi" Rp360.000.
Menyusul pada awal Desember 1982 berhasil dipergoki penyelundupan fosil di pelabuhan Semarang, yang hendak dikapalkan ke Prancis. Dalam peti berukuran 100 x 37 cm didapati gading gajah purba, rahang dan gigi badak purba, taring kuda sungai, dan arca-arca kuno.
Kasus ini sempat dimejahijaukan. Sayang sekali akhirnya kandas di tingkat kantor ekspedisi pengiriman barang di Solo.
Sesudahnya, tak pernah ada kejelasan sejumlah fosil itu berasal dari situs prasejarah mana saja. Masih gelap pula bagaimana cara wisatawan Prancis itu memperolehnya.
Pada November 1991 kasus transaksi fosil nyaris terjadi lagi. Dua orang wisatawan Thailand mendatangi rumah seorang penduduk untuk memborong fosil tengkorak badak (Rhinoceros sp.).
Untunglah, satpam Museum Sangiran dan anggota polisi Polsek Kalijambe sigap mengendus jual-beli ini, sehingga fosil bisa diamankan. Hanya saja, tetap tak jelas sanksi apa yang dijatuhkan pada pelaku, yang sebenarnya telah melanggar undang-undang cagar budaya.
Di sinilah tampak jelas betapa kekuatan undang-undang cagar budaya begitu lemah, karena ia mudah terkalahkan oleh satu kata: kompromi! Tanpa ada sanksi bagi pelaku.
Yang dipentingkan hanyalah asal fosil aman dan bisa diamankan. Kenyataan ini pun paling tidak menjadi bukti lagi bahwa transaksi fosil bisa dengan mudah terjadi di Sangiran.
Drs. Rusmulia, ketika itu staf perlindungan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, mengungkapkan perdagangan jual-beli fosil bukanlah hal baru. Di antara pemburu fosil, penadah, dan orang yang, mendalanginya sudah ada jaringan yang sangat rapi.
"Mereka hafal betul fosil macam apa yang laku di pasaran dan punya nilai ilmiah tinggi. Fosil mana pula yang bisa laku sampai 50 jutaan," ujar arkeolog tamatan UGM itu.
Bahkan, tak sedikit penduduk Sangiran yang lihai memalsu fosil manusia dan hewan purba hingga mirip benar dengan aslinya.
Uniknya, "Mereka tidak hanya cerdik memalsu, tapi juga pintar mereparasi," ujar Ir. Agus H.W., geolog yang sudah belasan kali meneliti di Sangiran. Dengan ramuan daun tertentu mereka bisa membuat warna fosil tiruan menjadi mirip aslinya.
Peralatan sederhana, seperti kikir dan gerinda, pun bisa mereka manfaatkan untuk mengubah bentuk fosil.
Namun menurut Kiswandi, soal jaringan jual-beli fosil saat itu sebenarnya belum begitu ruwet, sehingga bisa dengan mudah dijegal. Soalnya, oknumnya biasanya itu-itu saja dan sudah diketahui dengan jelas.
Makanya, dia berpendapat, "Mestinya ada tindakan tegas tak pandang bulu. Jangan cuma malingnya yang dihukum, sementara penadah dan dalangnya terbebas dari tuntutan pengadilan."
Bisa jadi Sugimin, penemu fosil tengkorak Pithecanthropus erectus yang akhirnya sampai ke tangan Tyler-Bambang itu tak tahu isi UU RI No. 5/1992. Tapi, sudah barang tentu dalam bahasa hukum pengertiannya tidaklah sesederhana itu.
Sebagaimana dijelaskan Drs. Trihatmadji, kasi Perlindungan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, dengan diberlakukannya undang-undang tersebut otomatis masyarakat sudah dianggap tahu.
Imbalannya sedikit dan lama
Nasib temuan fosil Sangiran sampai kini tidak keruan. Artinya, tidak semua temuan penduduk sampai di tangan pemerintah.
Bahkan, ada kecenderungan mereka sengaja menyembunyikannya, baik itu barang temuannya maupun situsnya (lokasi penemuan fosil). Alasannya, kalau lokasi temuan diberitahukan kepada aparat sama saja artinya dengan menyerahkan harta karun tabungan kepada orang lain.
Sikap demikian jamak dianut oleh beberapa penduduk Sangiran, khususnya mereka yang mata pencahariannya berburu fosil. Langkah pencegahan sudah acap kali dilakukan aparat Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
"Berbagai bentuk penyuluhan sudah tak terhitung kami lakukan pada warga Sangiran. Cuma, masalahnya tergantung juga pada mental manusianya," ujar Dra. Sumiyati, (ketika itu, red) kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah di hadapan Komisi E DPRD Tingkat I Jawa Tengah suatu kali di Museum Sangiran.
Penggalian liar memang masih terus berlangsung secara kucing-kucingan. Lalu lintas perdagangan fosil kian menggila sampai melibatkan ilmuwan segala.
Padahal, sudah sejak lama Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah) berusaha mengeremnya. Antara lain dengan memberikan uang ganti rugi plus piagam penghargaan bagi penemu fosil yang mau menyerahkannya kepada pemerintah.
Tapi, kenapa temuan fosil yang sampai ke tangan pemerintah tetap saja tak terlalu banyak? Sementara yang mengalir ke tangan pedagang gelap sudah tak terhitung lagi.
Jawabnya mungkin bisa dianalisis dari jawaban Suwarno, salah satu kampiun pemburu fosil, "Kalau diserahkan ke pemerintah biasanya imbalannya kecil sekali. Itu pun uangnya kita mesti nunggu lama."
Para pembeli gelap memang tidak selalu orang asing. Orang kita pun tak kurang, yang biasanya akan menjualnya lagi dengan harga berlipat.
Contohnya, Subur yang membeli fosil tengkorak Pithecanthropus erectus dari penemunya sebesar Rp 425.000 (tahun 1993-an). Oleh Tyler-Bambang temuan langka itu dibeli Rp3,8 juta, tapi baru diberikan Rp2 juta.
Cuma, sebelum kekurangan itu dilunasi, kedua ahli tersebut sudah keburu "diamankan".
"Kalau saja temuan itu diserahkan kepada pemerintah mungkin sekali akan mendapatkan ganti rugi yang lebih layak. Ditambah lagi dengan piagam dan nama penemunya akan tercatat dalam sejarah," ucap Drs. Slamet D.S., (ketika itu, red) kepala bidang Muskala Kanwil Depdikbud Jawa Tengah.
Susahnya, "imbalan layak" yang tidak jelas berapa besarnya itu pun ternyata masih "mungkin". Jangan-jangan janji yang masih serba samar inilah yang membuat para penemu fosil enggan menghubungi pemerintah.
Bagaimanapun tawar-menawar langsung dengan pembeli gelap jelas lebih menggiurkan. Soalnya, tuntutan perut bisa lebih cepat didapat dan besarnya pun ketahuan: Rp 500.000 - Rp 1 juta, Rp 2 juta, .... (untuk ukurang 1993-an).
Tantangannya sekarang, mampukah UU RI No. 5/1992 -- yang menggantikan Monument Ordonantie No. 19/1931 -- membuat para pedagang dan pembeli fosil, yang keduanya maunya gelap-gelapan, ini mengkeret?