Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com -Di bawah langit Aceh yang teduh, di antara desiran angin yang membelai pucuk-pucuk kelapa, terukir sebuah kisah perjuangan dan pengabdian seorang ulama kharismatik bernama Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Ia adalah sosok yang dihormati, pejuang kemerdekaan yang gigih, dan pemimpin spiritual yang dicintai rakyatnya.
Namun, takdir membawanya pada jalan yang penuh liku, di mana kesetiaannya diuji, dan pengabdiannya berujung pada kekecewaan yang mendalam.
Daud Beureueh, lahir di desa Beureueh, Pidie, pada tahun 1899, tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan.
Sejak muda, ia telah menunjukkan kecerdasan dan semangat belajar yang tinggi. Ia menimba ilmu agama di berbagai pesantren di Aceh dan Sumatera Barat, kemudian memperdalam pengetahuannya di Mekkah.
Sekembalinya ke Aceh, Daud Beureueh aktif dalam gerakan pendidikan dan keagamaan. Ia mendirikan sekolah-sekolah agama dan pesantren, serta memimpin organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Melalui PUSA, ia menggalang persatuan umat Islam dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Daud Beureueh dan para ulama Aceh lainnya melihat peluang untuk meraih kemerdekaan.
Mereka menjalin kerjasama dengan Jepang, dengan harapan Jepang akan memberikan dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Daud Beureueh bahkan diangkat menjadi Gubernur Militer Aceh,Langkat, dan Tanah Karo oleh Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Daud Beureueh dan rakyat Aceh menyambut gembira proklamasi tersebut.
Mereka berharap Indonesia merdeka akan menjadi negara yang adil dan makmur, di mana Islam dapat berkembang dengan baik.
Luka Pengkhianatan
Namun, harapan Daud Beureueh dan rakyat Aceh segera pupus. Pemerintah Indonesia yang baru terbentuk tidak memenuhi janjinya untuk memberikan otonomi khusus kepada Aceh.
Aceh, yang sebelumnya merupakan provinsi otonom, digabungkan dengan Sumatera Utara menjadi satu provinsi. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam di kalangan rakyat Aceh, termasuk Daud Beureueh.
Daud Beureueh merasa dikhianati oleh pemerintah pusat. Ia merasa perjuangan dan pengorbanan rakyat Aceh selama masa kemerdekaan tidak dihargai.
Ia juga khawatir penggabungan Aceh dengan Sumatera Utara akan mengancam identitas dan budaya Aceh, serta menghambat perkembangan Islam di Aceh.
Kekecewaan Daud Beureueh semakin bertambah ketika pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan Aceh.
Misalnya, pemerintah pusat melarang penggunaan mata uang daerah di Aceh dan memberlakukan sistem pendidikan nasional yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Jalan Menuju DI/TII
Dalam situasi yang penuh kekecewaan dan ketidakpuasan, Daud Beureueh mencari jalan keluar untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh.
Ia menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. DI/TII adalah gerakan separatis yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang berdasarkan syariat Islam.
Daud Beureueh merasa memiliki kesamaan visi dan misi dengan DI/TII. Ia melihat DI/TII sebagai wadah perjuangan untuk menegakkan syariat Islam dan mewujudkan keadilan bagi rakyat Aceh.
Pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh mengumumkan bahwa Aceh bergabung dengan NII.
Keputusan Daud Beureueh untuk bergabung dengan DI/TII adalah keputusan yang sulit dan penuh risiko. Ia sadar bahwa keputusannya akan menimbulkan konflik dengan pemerintah pusat dan mengancam keselamatan dirinya dan rakyat Aceh.
Namun, ia yakin bahwa keputusannya adalah keputusan yang benar dan sesuai dengan hati nuraninya.
Perjuangan di Bawah Panji DI/TII
Setelah bergabung dengan DI/TII, Daud Beureueh memimpin perjuangan bersenjata melawan pemerintah Indonesia di Aceh. Ia membentuk pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) Aceh dan melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos militer Indonesia.
Perjuangan Daud Beureueh dan TII Aceh berlangsung selama hampir sepuluh tahun. Selama itu, Aceh menjadi medan pertempuran yang sengit antara TII Aceh dan TNI. Banyak korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak.
Pemerintah Indonesia berusaha keras untuk memadamkan pemberontakan DI/TII di Aceh. Mereka mengerahkan pasukan TNI dalam jumlah besar dan melakukan operasi militer secara intensif.
Namun, TII Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh mampu bertahan dan memberikan perlawanan yang sengit.
Akhir Perjuangan
Pada tahun 1962, pemerintah Indonesia menawarkan perundingan damai kepada Daud Beureueh. Daud Beureueh, yang menyadari bahwa perjuangan bersenjata tidak akan membawa hasil yang diharapkan, menerima tawaran tersebut.
Setelah melalui proses perundingan yang panjang dan alot, akhirnya dicapai kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan Daud Beureueh.
Daud Beureueh setuju untuk menghentikan perjuangan bersenjata dan mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai imbalannya, pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus kepada Aceh dan mengizinkan penerapan syariat Islam di Aceh.
Refleksi
Keputusan Daud Beureueh untuk bergabung dengan DI/TII adalah keputusan yang kontroversial dan menimbulkan pro dan kontra hingga saat ini. Ada yang menganggapnya sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh, ada pula yang menganggapnya sebagai pemberontak yang mengancam keutuhan NKRI.
Terlepas dari segala kontroversi, tidak dapat dipungkiri bahwa Daud Beureueh adalah sosok yang memiliki integritas dan dedikasi yang tinggi terhadap perjuangannya. Ia adalah seorang ulama yang berani mengambil risiko dan mengorbankan segalanya demi keyakinannya.
Kisah Daud Beureueh adalah pengingat bagi kita semua bahwa perjuangan untuk keadilan dan kebenaran tidak selalu mudah. Terkadang, kita harus menghadapi pilihan-pilihan yang sulit dan mengambil risiko yang besar. Namun, jika kita yakin bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang benar, maka kita harus tetap teguh dan tidak menyerah.
Sumber:
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1990. The Republican Revolt: A Study of the Acehnese Rebellion. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Al Chaidar. 2008. Pemikiran Politik Teungku Muhammad Daud Beureueh. Jakarta: Erlangga.
Reid, Anthony. 2014. Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---