[ARSIP]
Penyelenggaraan PON I di Solo tahun 1948 diliputi kesederhanaan di bawah ancaman Belanda dan pemberontak. Para atlet hanya “dititipkan” di rumah penduduk atau gedung sekolah. Tetap saja, penyelenggaraan berlangsung semarah.
Penulis: Yan/Heru, Majalah Intisari edisi September 1993
---
Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Gaung Olimpiade modern yang dibangkitkan kembali pada 1892 atas prakarsa Baron Pierre de Coubertin, seorang bangsawan Prancis, sampai juga di Indonesia. Paling tidak saat Olimpiade ke-14 digelar di London, Inggris, tahun 1948 yang diikuti oleh atlet dari 59 negara. Peristiwa akbar yang disemangati motto citius, altius, fortius itu ternyata diperhatikan betul oleh para tokoh olahraga kita pada waktu itu.
Sebuah pidato radio pada 10 Agustus 1948, sebulan sebelum PON I digelar, oleh Soemali Prawirosoedirdjo, wakil ketua Pengurus Besar Persatoean Olahraga Repoeblik Indonesia (PORI, sekarang KONI), menyuratkan hal itu:
"... maoe tidak maoe fikiran kita melajang ke London, iboe kota Inggris, di mana sedjak tanggal 30 Djoeli, oentoek 17 hari lamanja, hampir 6.000 pemain-pemain olahraga dari 59 bangsa- bangsa sedoenia berkoempoel, oentoek saling mengadoe ketangkasan, kekoeatan, keahlian masing-masing di dalam pelbagai tjabang olahraga ... Kini kita sendiri menghadapi satoe peristiwa jang tak kalah pentingnja bagi doenia keolahragaan kita, Pekan Olahraga Nasional … Jadikanlah PON 1948 ini satoe "nationaal sportgebeuren" ... Dari oedjian PON kita menoedjoe ke Inter Asiatic Sportmeeting dan seteroesnja ke Olimpiade Internasional ...."
Meski perang bisa mengatur rakyat
Memang bisa dikatakan, Olimpiade ke-14 tahun 1948 itu ikut membangkitkan semangat baru pada para tokoh olahraga Indonesia untuk segera mewujudkan suatu dari 10 keputusan konferensi: PORI I yang berlangsung pada 2-3 Mei 1948 di Surakarta, yaitu menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional, dan juga Kongres PORI II pada 9-11 September 1948.
Selain mengandung tujuan murni keolahragaan, penyelenggaraan pesta olahraga berskala nasional itu juga dijadikan sarana perjuangan politis-internasional. Terutama terhadap pengakuan dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
"Kita ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia punya pemerintahan, dan walaupun dalam keadan perang, bahkan Muso dan kawan-kawan yang komunis itu mencoba menggunting dalam lipatan, RI bisa mengatur kegiatan rakyat dengan tertib," ujar Maladi (meninggal April 2001), mantan wakil ketua bagian keuangan Panitia Besar PON I dan juga ketua PORI bagian sepakbola (sekarang PSSI).
Seperti diketahui, peluang melakukan diplomasi keluar lewat kegiatan olahraga tidak berhasil dimanfaatkan setelah upaya mengikutsertakan kontingen Indonesia pada Olimpiade ke-14 di London 1948 oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX gagal.
Pemerintah Inggris tidak mengakui paspor RI dan KORI belum menjadi anggota IOC. Pemerintah RI menolak tegas penggunaan paspor Belanda, karena itu sama saja mengakui RI masih di bawah kekuasaan Belanda. No way!
Tidak disangka, di dalam negeri sendiri PON pertama yang digelar di kota yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo ini mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat dan pemerintah. Tidak kurang Djawatan Radio Kementrian Penerangan (sekarang Radio Republik Indonesia, RRI), menyiapkan sebuah pemancar besar dan tujuh pemancar kecil yang dipasang di setiap sudut arena perlombaan.
Melalui pemancar-pemancar itu disiarkan jalannya semua pertandingan yang berlangsung sejak tanggal 8-12 September 1948, setiap hari mulai pukul 07.00 - 18.00. Dengan begitu masyarakat Solo dan dan kota-kota lainnya yang tidak bisa menyaksikan secara langsung dapat mengikuti jalannya pertandingan pada pesta olahraga paling akbar dan baru pertama kali digelar di tanah air. Untuk membantu panitia perlombaan di lapangan masing-masing disediakan alat-alat pengeras suara.
Dalam hal ini Jawatan PTT (Pos, Telepon, dan Telegraf) tak mau ketinggalan. Pihaknya pun mendirikan pemancar yang sangat kuat dengan memakai gelombang 30 m sehingga diharapkan dapat ditangkap di seluruh kawasan Republik Indonesia. Malahan mungkin dapat didengar oleh negara tetangga seperti Singapura, India, Filipina, dan Australia.
Sementara itu Inspektorat Perhubungan membantu dengan sebuah pemancar mobil. Pemancar ini digunakan untuk menyiarkan secara langsung rombongan gerak jalan yang membawa bendera PON dari Yogyakarta ke Surakarta. Jawatan ini pun membantu menyediakan burung-burung dara yang akan dilepaskan pada upacara pembukaan pada 9 September 1948.
Atlet pengungsi
Bagaimanapun PON adalah barang baru bagi bangsa dan negara Indonesia, sebuah republik yang baru berusia tiga tahun dan sampai saat itu masih diwarnai hiruk pikuknya pergolakan revolusi fisik. Apalagi sebagian besar wilayah Indonesia masih dikuasi Belanda.
Jadi adalah mustahil untuk dapat mengumpulkan atlet yang mewakili seluruh wilayah Indonesia, walaupun kegiatan ini berskala nasional seperti tersebut pada namanya. "Kalau kita paksakan bisa-bisa para atlet tidak akan tiba di tempat (pertandingan) karena keburu dihadang Belanda," kata almarhum Maladi, mengenang suasana waktu itu.
Pada masa itu, Belanda menduduki tempat-tempat utama seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan sejumlah kota penting lainnya.
Maka di sinilah uniknya. Jangan dikira atlet-atlet yang tergabung dalam kontingen Jakarta, misalnya, datang langsung dari Karesidenan Jakarta. Mereka sebetulnya adalah atlet warga "pengungsi" dari Jakarta yang diduduki Belanda, umumnya kaum pelajar yang sekolah di Klaten, Yogyakarta, Solo, atau daerah sekitarnya.
Demikian pula kontingen yang mewakili daerah pendudukan lainnya. "Keresidenan Priangan (Bandung), misalnya, diwakili oleh pegawai PIT yang pindah ke Solo. Lalu Karesidenan Surabaya diwakili kaum pengungsi dari kota-kota di Jawa Timur yang tidak diduduki Belanda," ungkap Maladi.
Namun, di tengah segala keterbatasan itu akhirnya Presiden Soekarno membuka juga PON I dengan selamat. Bung Karno bersama rombongan datang dari Yogyakarta menggunakan kereta api.Lalu dengan mengendarai mobil rombongan presiden menuju Stadion Sriwedari, tempat pertandingan dan upacara pembukaan PON I.
(Sekadar untuk mengingatkan, Yogyakarta pada waktu itu menjadi ibu kota negara RI untuk sementara, setelah Jakarta diduduki Belanda yang datang membonceng NICA. Tokoh-tokoh pemerintahan penting semuanya hijrah ke Kota Gudek itu.)
"Jangan dibayangkan seperti upacara pembukaan pesta olahraga masa kini yang sarat dengan macam-macam atraksi menarik dan pating gebyar, ting glebyar, PON I hanya mengenal defile atlet, pidato pembukaan, dan penaikan bendera PON. Sudah hanya itu," kata Maladi.
Bahkan pakaian yang dikenakan para atlet pada acara defile itu nyaris seragam. Blus warna putih dipadu dengan rok bawahan warna putih untuk atlet wanita, juga hem putih dengan celana panjang putih untuk atlet pria. ."Maklum, tekstil yang ada di zaman revolusi itu. cuma warna putih," ujar mantan penjaga gawang nasional.
Walau upacara pembukaan jauh dari gebyar semarak yang membuai mata, itu tidak mengurangi minat masyarakat untuk datang berbondong-bondong menyaksikan jalannya upacara pembukaan. Dari tribune di pinggir lapangan, kata Maladi, penonton mengikuti secara saksama setiap acara yang disuguhkan. "Saya heran, meski penontonnya banyak dan hanya dengan pembatas tali dan bambu, bukan pagar besi, kok ya bisa tertib,” kenangnya.
Dilarang IOC
Sehari sebelumnya bendera PON diserahkan oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta kepada barisan pemuda-pemudi untuk diarak dengan berjalan kaki secara beranting menuju ke Solo. Sayangnya, bendera yang amat bersejarah ini dilarang IOC (Komite Olimpiade Internasional) untuk dikibarkan lagi sebagai bendera PON. Pasalnya, bendera tersebut menggunakan lambang lima lingkaran yang saling berkait menyerupai lambang bendera Olimpiade.
Pesta olahraga nasional yang pertama itu mempertandingkan 10 cabang olahraga, yakti atletik, anggar, bola basket, bola keranjang, bulu tangkis, panahan, pencak silat, renang, sepakbola, dan tenis. Diikuti oleh 13 karesidenan di Jawa, a.l. Banyumas, Kedu, Jakarta, Yogyakarta, Kediri, Madiun, Malang, Pati, Priangan, Semarang, Surabaya, dan Solo sendiri.
Kota Solo dipilih sebagai tempat penyelenggaraan PON terutama karena memiliki sport venues yang dinilai cukup lengkap pada waktu itu sebagai ajang pesta olahraga seakbar PON. Di kota itu terdapat Stadion Sriwedari, lapangan tenis, kolam renang, lapangan basket, gedung bulu tangkis dll.
Lalu atlet yang berjumlah 600 orang itu bukan menginap di hotel macam sekarang. Mereka harus puas tinggal sementara di gedung-gedung sekolah, dan juga rumah-rumah keluarga yang cukup besar. "Yang penting tersedia ruangan dan tikar, oke-lah," tutur Maladi.
Dengan anggaran yang sebagian besar disediakan oleh Panitia Besar PON dan sedikit sumbangan pemerintah, cara penampungan macam itu sudah maksimal. "Kami juga memberi ransum makanan sehari 2 kali, dengan jatah Rp5,- per hari. Sedangkan uang saku dan kebutuhan lainnya seperti sepatu, ditanggung oleh atlet sendiri," jelasnya.
Mungkin karena tak ada dana buat para peserta, juga kondisi ekonomi zaman itu, para atlet tidak terlalu memusingkan soal-soal macam pakaian yang harus dikenakan untuk bertanding. Karena itu tidak jarang, baju atau celana yang habis dipakai bertanding oleh seorang atlet, dipinjam dan dipakai lagi oleh atlet lainnya.
Penampilan pakaian atlet jelas berbeda dengan sekarang, walau warna-warni pakaian bukannya tak ada. Asal tahu saja, rata-rata pewarnaannya menggunakan wenter, zat pewarna pakaian yang bisa dibeli di toko dan diadon sendiri untuk mewarnai pakaian.
Walaupun diselenggarakan dalam kondisi yang sederhana dan dengan daya dukung yang relatif minim, beberapa nama menunjukkan prestasi tinggi. Soedarmodjo, pelompat tinggi putra, misalnya, berhasil menjadi juara dengan lompatan 1,80 m. Untuk ukuran masa itu prestasi tersebut sudah tergolong luar biasa. Apalagi catatan prestasi empat tahun kemudian di Olimpiade Helsinki 1952, untuk nomor yang sama adalah setinggi 1,89 cm, terpaut 9 cm dari rekor Soedarmodjo di Solo.
Prestasi-prestasi yang dicapai atlet PON I ini, menurut Maladi, berkat pembinaan yang baik di sekolah-sekolah. Gedung-gedung sekolah. zaman Belanda memang rata-rata punya lapangan khusus sebagai tempat latihan bermacam-macam nomor olahraga, dari atletik sampai senam.
"Sekarang saya lihat sudah jarang sekolah yang memiliki lapangan olahraga sendiri," katanya.
Keinginan dan cita-cita para pendahulu kita di dunia olahraga untuk bisa berbicara di arena internasional, semacam Olimpiade, agaknya pada waktu itu bukanlah suatu hal dianggap muluk-muluk. Sudah banyak bukti bahwa ternyata atlet kita mampu mengimbangi kekuatan atlet dari negara-negara maju.
Kita masih ingat betul pada kejuaraan sepakbola Olimpiade 1956 di Melbourne, misalnya, kesebelasan Indonesia mampu mencapai babak perempat final dengan menahan seri Uni Soviet 0 - 0 setelah perpanjangan waktu 2 x 15 menit, walaupun dalam pertandingan ulang kalah 0 - 4. Bahkan sebelum itu, dalam rangka persiapan menuju Melbourne, kesebelasan Indonesia berhasil memukul Amerika Serikat dengan 7-5 .
Lalu setelah itu, semuanya seperti jalan di tempat. Baru setelah 40 tahun kemudian sejak PON I, Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai negara peserta yang memperoleh medali, dalam hal ini medali perak, di cabang panahan beregu pada Olimpiade Seoul 1988.
Disusul empat tahun kemudian, Alan Budikusuma dan Susi Susanti pada cabang bulutangkis memetik medali emas pertama dan kedua bagi Indonesia pada Olimpiade Barcelona 1992. Dan pada olimpiade-olimpiade selanjutnya, hingga yang paling terakhir, Paris 2004, Indonesia tak pernah berhenti menggondol medali.