Di Papua, noken memiliki beragam sebutan, sesuai dengan nama daerah di mana noken itu dikreasikan. "Di Hugula noken disebut dengan su; Suku Dani menyebutnya dengan jum; Yali menyebutnya sum; di Biak disebut dengan inoken atau inokenson; orang-orang Mee menyebutnya agia; Asmat menyebutnya ese; lrarutu disebut dump, dan lain sebagainya," tulis situs yang dikelola oleh Kemendikbud itu.
Kabarnya, ada 250-an suku di Papua yang mengenal dan menggunakan noken dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, noken menjadi sebuah kebudayaan yang terus dipakai secara turun temurun, sehingga tidak diketahui secara jelas bagaimana noken berkembang di Papua. Berbagai informasi menyebutkan bahwa sejak dahulu noken juga digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari.
Di antara fungsi noken adalah untuk membawa hasil kebun, hasil laut, kayu, hewan kecil, barang belanjaan, uang, sirih, makanan, buku, bahkan untuk membawa bayi yang masih kecil. Noken juga dapat dipakai sebagai tutup kepala atau badan.
Masih dari sumber yang sama, noken bagi orang Papua adalah "rumah berjalan" yang di dalamnya berisi segala kebutuhan. Noken juga dianggap sebagai simbol kesuburan perempuan, kehidupan yang baik, dan perdamaian. Di berbagai suku di Papua noken menunjukkan status sosial penggunanya. Orang terkemuka dalam masyarakat, misalnya kepala suku, kadang-kadang memakai noken dengan pola dan hiasan khusus.
Noken, yang biasanya dibuat dari serat pohon, kulit kayu, daun pandan, dan rumput rawa, umumnya dibuat oleh wanita atau mama-mama Papua yang rata-rata sudah berusia lanjut, yang disebut dengan "Mama Noken". Tapi ada juga noken yang dibuat oleh para pria, terutama di Suku Mee dan dinamakan Meuwodide alias bapak-bapak Papua di daerah Suku Mee.
Biasanya, bahan-bahan yang disebut di atas, akan diproses secara konvensional sehingga menjadi benang yang kemudian digunakan untuk merajut. Setiap suku punya caranya masing-masing untuk mengolah bahan baku tersebut. Ada yang membuatnya dengan cara memotong beberapa jenis pohon khusus yang dipanaskan di atas api hingga layu, lalu direndam dalam air selama beberapa hari.
Ada juga perajin yang menguliti batang pohon lalu kulitnya saja yang direndam. Kulit pohon lepas dari batangnya, lendir kulit pohon keluar, hingga tinggal seratnya. Ada juga yang menguliti batang kayu kecil, lalu batang kayu tersebut dipukuli hingga tinggal seratnya.
Serat kayu yang didapat kemudian dikeringkan menjadi bahan serat yang kemudian dipintal hingga menjadi benang kuat dengan telapak tangan di atas paha perajin. Serat tersebut kadang diwarnai dengan warna alami (contoh, Suku Dani/Hugula). Benang itu kemudian dirajut dengan tangan untuk membuat tas jala dengan berbagai pola dan ukuran. Di daerah Paniai ditemukan noken khusus yang diberi hiasan dari serat tangkai anggrek berwarna kuning, hitam dan coklat.
Seperti halnya nasib benda-benda warisan tradisi lainnya, noken saat ini juga menghadapi ironi. Bagaimana tidak, noken sudah jarang digunakan dalam keseharian. Di Desa-desa Papua, noken memang menjadi sebuah barang penting yang digunakan untuk berbagai aktivitas, namun di kota noken sudah mulai ditinggalkan.
Ada beberapa faktor, salah satunya adalah berkembangnya industri dan teknologi yang punya andil besar terhadap hilangnya budaya lokal, noken salah satunya. Industri memungkinkan hadirnya tas-tas pabrikan yang lebih praktis untuk dipakai sehari-hari. Selain itu, sulitnya mendapatkan serat kayu yang merupakan bahan baku utama pembuatan noken juga menjadi salah satu faktor yang mengancam keberadaan noken.
Selain itu, regenerasi yang mumpuni juga menjadi persoalan. Seperti disebut di awal, noken kebanyakan hanya dibuat oleh mama-mama Papua yang sudah tua sementara anak-anak muda tidak memungkinkan untuk melanjutkannya--entah karena urusan pendidikan atau yang lainnya.
Untung saja, pada 2012 lalu noken resmi diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya tak benda dari Indonesia yang, mau tidak mau, membuatnya dilihat oleh mata dunia. Harapannya, dengan begitu, kelestarian noken sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, khususnya Papua, tetap terjaga hingga masa yang akan datang.
Itulah cerita dari Festival Tas Nusantara 2024 kemarin, semoga acara tersebut bisa mewujudkan mimpi besarnya: menjaga tas-tas Nusantara dari kepunahan. Amin!
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR