Catatan ini penting untuk bersikap kritis terhadap bahasa sumber "data" mengenai Sunan Drajat, yang kalau memang terdapat sosok historisnya, hidup pada abad ke-15.
Kembali kepada teks di atas, meski tampaknya "Jawa sekali" nasihat semacam itu disebut merupakan penurunan dan ayat al-Qur'an juga, dan sering menjadi contoh bagaimana Sunan Drajat, seperti juga para walisanga lain, menghindarkan citra "kearab-araban" yang kemungkinan besar tak akan efektif dalam usaha dakwah pada masanya.
Sunan Drajat, seperti dicatat Saksono, juga disebut-sebut berjasa dalam penyempurnaan alat pengangkutan alias transportasi dan bangunan perumahan. Kita tidak mempunyai cara menerima informasi semacam ini dengan bertanggung jawab.
Kecuali memakluminya bahwa ketika intelektualisasi pencitraan juga dilakukan kepada para sunan lain, memang berlangsung suatu kepentingan yang relevan dengan tafsiran bahwa agama itu harus menyentuh langsung kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, wajarlah bahwa apa yang dianggap sebagai "ajaran Sunan Drajat" seperti berikut inilah yang sampai sekarang masih diingat orang:
---
Paring teken marang hang kalunyon Ian wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang kang kawudan, lan paring payung marang kang kodanan
Memberi tongkat kepada orang yang sedang berjalan di tempat licin dan orang buta, memberi makan kepada yang kelaparan, memberi pakaian kepada yang telanjang, memberi pavung kepada yang kehujanan
---
Seperti dicatat oleh Sofwan, Wasit, dan Mundiri, maksud ajaran lersebut adalah: Beri petunjuk yang tidak tahu, sejahlerakan rakyat yang miskin, ajarkan budi pekerti kepada yang tidak beradab, dan lindungilah orang-orang yang tertindas.
Jelas ini merupakan suatu kebijakan sosial yang lidak asing bagi agama dan kebudayaan mana pun. Seolah-olah bagi Sunan Drajat bukanlah baju agama yang paling penting bagi manusia, tetapi perilaku sosial macam apa yang menjamin keberadaban pemeluk agama mana pun.
Siapa pun yang merumuskan kembali "ajaran Sunan Drajat” tersebut pastilah memiliki kesadaran tentang bias yang dimungkinkan oleh apa yang dapat disangka sebagai identitas agama tertentu.
Anggapan bahwa para wali memanfaatkan wacana lokal dalam penyebaran agama, menjelaskan terdapatnya kesadaran akan suatu politik identitas, karena masalah identitas memang tak mungkin dilepaskan dan kondisi kebudayaan yang dalam dirinya sendiri selalu berproses.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR