Intisari-online.com - Orde Baru, periode kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun (1967-1998), menorehkan tinta sejarah kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Di balik stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, rezim Orde Baru terjerat dalam praktik penyimpangan konstitusi yang sistematis dan masif.
Mari kita telusuri jejak kelam penyimpangan konstitusi pada masa Orde Baru, memahami akar permasalahannya, dan belajar dari masa lalu untuk membangun demokrasi yang lebih kokoh di masa depan.
Konsolidasi Kekuasaan dan Pembungkaman Suara Rakyat
Pasca kekacauan politik dan ekonomi di era Orde Lama, Soeharto tampil sebagai "penyelamat" dengan membawa janji stabilitas dan pembangunan.
Namun, di balik retorika tersebut, tersembunyi agenda konsolidasi kekuasaan yang mencengkeram erat sendi-sendi demokrasi.
Salah satu contoh nyata adalah pemberlakuan Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang melampaui batas konstitusi.
Peran ABRI tak hanya sebatas menjaga keamanan negara, tapi juga merambah ke ranah politik dan ekonomi, melegitimasi intervensi militer dalam urusan sipil, dan membungkam suara-suara kritis.
Pembatasan kebebasan pers dan berekspresi kian memperparah situasi. Media massa dipaksa tunduk pada kontrol pemerintah, organisasi masyarakat sipil diintimidasi, dan aktivis pro-demokrasi dibungkam dengan represi brutal.
Hak-hak asasi manusia seperti hak untuk berkumpul dan menyatakan pendapat diinjak-injak.
Pemusatan Kekuasaan dan Kontrol Lembaga Negara
UUD 1945 yang seharusnya menjadi landasan konstitusional negara, direduksi menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto.
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang seharusnya menjadi lembaga tertinggi negara, diubah fungsinya menjadi alat stempel Soeharto untuk memperpanjang masa jabatannya.
Lembaga-lembaga negara lainnya, seperti DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), tak luput dari cengkeraman Orde Baru. DPR diisi dengan anggota-anggota yang loyal pada Soeharto, dan BPK kehilangan independensinya dalam mengaudit keuangan negara.
Pemusatan kekuasaan ini melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter, di mana Soeharto menjadi sentral pengambilan keputusan dan tak ada ruang bagi kontrol dan akuntabilitas.
Baca Juga: Israel Pernah Akui Kedaulatan Indonesia Namun Tak Digubris
Penyalahgunaan Konstitusi untuk Kepentingan Ekonomi
Penyimpangan konstitusi tak hanya merambah ranah politik, tapi juga ekonomi. Pancasila, yang seharusnya menjadi pedoman ekonomi nasional, dibelokkan untuk kepentingan segelintir elit penguasa.
Pemerintah Orde Baru menganut model ekonomi neoliberal yang berorientasi pada pertumbuhan semata, mengabaikan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Kekayaan alam dan sumber daya negara dieksploitasi habis-habisan untuk kepentingan konglomerat dan kroni Soeharto.
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merajalela, menggerogoti sendi-sendi ekonomi bangsa.
Hak-hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam dirampas, dan kasus-kasus pelanggaran HAM terkait perebutan lahan marak terjadi.
Dampak dan Luka Mendalam Demokrasi
Penyimpangan konstitusi pada masa Orde Baru meninggalkan luka mendalam bagi demokrasi Indonesia. Rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara, hak-hak asasi mereka terinjak-injak, dan rasa keadilan tercederai.
Dampaknya masih terasa hingga hari ini. Budaya otoriter dan korupsi masih mengakar kuat dalam masyarakat, dan bayang-bayang rezim represif Orde Baru masih menghantui proses demokrasi.
Belajar dari Masa Lalu, Membangun Demokrasi yang Lebih Kokoh
Mempelajari penyimpangan konstitusi pada masa Orde Baru menjadi keharusan untuk membangun demokrasi yang lebih kokoh di masa depan. Penting untuk:
Memperkuat independensi dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara.
Mempertegas jaminan hak-hak asasi manusia dan kebebasan sipil.
Membangun budaya anti-korupsi dan nepotisme.
Meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Mempelajari sejarah dengan kritis dan reflektif, agar tragedi Orde Baru tak terulang kembali.