Ki Hadjar Dewantara Meyakini Bahwa Proses Belajar Harus Selaras Dengan Kodrat Anak, Jelaskan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Konsep pendidikan anak menurut Ki Hajar Dewantara.
Konsep pendidikan anak menurut Ki Hajar Dewantara.

---

Intisari kini hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa proses belajar harus selaras dengan kodrat anak. Pada tiap periode usia anak memiliki kekhususan yang harus dijadikan bahan pertimbangan dalam proses belajar.

Pada periode wirama, anak mulai menata bagaimana agar masa depannya senantiasa seirama dengan sesama dan semesta. Anak dipaparkan pada keputusan-keputusan mengenai bagaimana menebalkan jati dirinya di tengah masyarakat dan lingkungan.

Mereka sadar bagaimana membawa diri sebagai manusia yang merdeka. Mereka sadar betul bahwa ini hidup mereka, ini negara-bangsa-dan tanah air mereka.

Apa yang sebaiknya guru lakukan pada periode ini?

Secara garis besar, guru harus berupaya fokus pada pemberian akses dan penyediaan pengalaman belajar agar anak semakin merdeka dalam mengeksplorasi "dunia"-nya, meliputi diri, antarsesama, dan lingkungan di dekatnya.

Konsep pendidikan anak Ki Hajar Dewantara, menurut paper yang ditulis Mutiara Magta berjudul "KONSEP PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA PADA ANAK USIA DINI" yang terbit di jurnal Pendidikan Usia Dini (2013),dipengaruhi oleh pemikiran Friedrich Fröbel, pakar pendidikan anak kelahiran Jerman, yang memberikan kebebasan pada anak yang diatur secara tertib, juga pemikiran Montessori yang membebaskan anak-anak seakan-akan secara tak terbatas.

Dari situlah Ki Hajar merumuskan semboyan Tutwuri Handayani, yakni memberi kebebasan yang luas selama tidak ada bahaya yang mengancam kanak-kanak. Inilah sikap yang terkenal dalam hidup kebudayaan bangsa kita sebagai sistem “among”.

Pendidikan anak usia dini berdasarkan pemikiran Ki Hajar Dewantara didasarkan pada pola pengasuhan yang berasal dari kata “asuh” artinya memimpin, mengelola, membimbing. Pendidikan dilaksanakan dengan memberi contoh teladan, memberi semangat dan mendorong anak untuk berkembang (Sujiono, 2009).

Pemikiran ini sesuai dengan pernyataan Bandura, bahwa anak mengobservasi perilaku orang dewasa dan menirunya. Lebih lanjut teori kognitif sosial Bandura menyatakan bahwa perilaku, lingkungan dan orang atau kognisi merupakan faktor penting di dalam perkembangan.

Perilaku dapat mempengaruhi individu dan sebaliknya individu tersebut dapat mempengaruhi lingkungan lingkungan mempengaruhi seseorang dan seterusnya. Oleh sebab itu, keteladanan mutlak dibutuhkan oleh anak-anak, Ki Hajar Dewantara menyebutnya Ing Ngarsa Sung Tulada, dimana guru harus menjadi teladan untuk anak didiknya.

Mendidik anak kecil, menurut Hi Hajar, itu bukan atau belum memberi pengetahuan akan tetapi baru berusaha akan sempurnanya rasa pikiran. Adapun segala tenaga dan tingkah laku itu sebenarnya besar pengaruhnya bagi hidup batin; juga hidup batin itu berpengaruh besar atas tingkah laku lahir.

Jalan perantaranya didikan lahir ke dalam batin yaitu panca indera. Maka dari itu latihan panca indera merupakan pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dll).

Pemikiran tersebut dilatari oleh pemikiran Frőbel dan Montessori. Frőbel memberi pelajaran panca indera tetapi tetap yang diutamakan adalah permainan anak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indera diwujudkan menjadi barang-barang yang menyenangkan anak.

Sedangkan Montessori mementingkan pelajaran panca indera dengan memberikan kemerdekaan anak yang luas tetapi permainan tidak dipentingkan. Ki Hajar Dewantara menggabungkan keduanya, menurutnya pelajaran panca indera dan permainan anak tidak terpisah.

Segala tingkah laku dan segala keadaan hidupnya anak-anak sudah diisi oleh Sang Maha Among (Tuhan) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak. Proses pembelajaran pada anak usia dini menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara berlangsung secara alamiah dan membebaskan.

Namun dalam kebebasannya tersebut terdapat tuntunan dan bimbingan dari pendidik kepada anak yang bersumber pada kebudayaan lingkungan anak, di mana nilai budi pekerti, nilai seni, nilai budaya, kecerdasan, keterampilan dan agama yang menjadi kekuatan diri anak untuk tumbuh berkembang melalui panca inderanya.

Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan sehari-hari yang mengelilingi kehidupan si anak seperti nyanyian, permainan, dongeng, alam sekitar dan sebagainya.

Artikel Terkait