Selain itu, para pembatik itu kebanyakan bekerja hanya ketika mereka merasa punya waktu. Sebagian besar, dan bisa dikatakan hampir semuanya, lebih mengutamakan kerja sebagai buruh tani saat musim tanam.
“Ketika permintaan pasar tinggi, justru kita yang kesulitan memenuhi,” ujar Satrio yang mempekerjakan 14 pembatik dan enam orang yang bertugas menembok atau membubuhkan cairan malam serta merontokkannya ketika proses pewarnaan sudah selesai.
Regenerasi pembatik di Bekonang bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Karena itu berarti harus mengajarkan motif demi motif dari ratusan motif yang ada. Adakah generasi muda yang berminat, atau dunia pendidikan, atau pemerintah ingin ikut melestarikan?
Semoga batik bekonang tak hanya bangkit kembali lalu mati, namun tetap lestari. (Kusumasari Ayuningtyas untuk Intisari 2014)
---
Intisari kini hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru di sini
---
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR