Satrio mencontohkan motif kawung. Motif kawung pada batik keluaran Keraton Kasunanan Surakarta bentuknya lonjong dan dihias dengan empat titik di tengahnya. Ini sesuai dengan falsafah empat penjuru mata angin. Pada motif kawung batik milik Keraton Yogyakarta, misalnya, bentuknya lebih bulat dengan diisi dua motif menyerupai simbol “plus” yang menyatu.
Dasar filosofisnya, setiap titik kehidupan yang dilalui manusia memiliki tujuan yang sama. Sedangkan pada batik bekonang, motif kawungnya lebih menyerupai biji kopi, yaitu bulat dan seperti ada garis pemisah di tengahnya, menampakkan dua belahan lingkaran yang dijajarkan. Di dalam setiap belahan diisi satu titik. Falsafahnya adalah keanekaragaman alam.
Begitu sederhananya batik bekonang, baik dalam motif maupun falsafah, sehingga batik ini juga memiliki nama lain, yaitu batik sri gunung.
Idiom Sri Gunung digunakan untuk menunjuk sesuatu yang indah kalau dilihat dari jauh. Padahal dari dekat kelihatan sangat bersahaja. Dibandingkan dengan batik lain, apalagi batik keraton, batik bekonang sangatlah sederhana. Baik dalam corak, motif, atau proses pewarnaannya.
Langkanya pembatik muda
Lama terbenam, kini batik bekonang kembali diangkat ke permukaan, kembali dipopulerkan. Diungkapkan oleh Satrio yang juga seorang desainer yang konsisten mengangkat dan melestarikan batik bekonang, 28 Februari 2012 menjadi awal bangkitnya batik itu dengan digelarnya sebuah kegiatan bertajuk “Eco-life Batik Bekonang”.
Sejak itu batik bekonang mulai dikenal lagi dan banyak dicari. Dituturkan oleh Satrio, dibandingkan dengan saat pertama kali berkecimpung dalam industri batik bekonang sekitar satu dekade lalu, sekarang batik bekonang mengalami banyak perubahan yang menggembirakan.
Bahkan tidak hanya di pasar batik lokal dan nasional, saat ini batik bekonang sudah merambah
Malaysia, Singapura, dan Dubai. Semua itu tak lepas dari pelbagai inovasi yang dilakukan oleh
para pengusaha batik bekonang, termasuk Satrio. Satu inovasi yang saat ini gencar dilakukan adalah mengembangkan pewarnaan nyolet yang sebelumnya tidak pernah ada pada batik bekonang.
Nyolet adalah sebuah proses pewarnaan pada bagian tertentu pola yang dilakukan dengan menyapukan zat pewarna. Dengan nyolet, muncullah beraneka ragam warna, tidak lagi hanya warna sogan kemerahan seperti sebelumnya.
Batik bekonang dengan variasi nyolet dan warna-warna modern memang disukai masyarakat kelas menengah. Namun, masyarakat kelas atas dan mancanegara rupanya tetap lebih menyukai warna aslinya, sogan kemerahan.
Ada masalah besar yang kalau tidak teratasi akan menghambat kebangkitan batik bekonang, yaitu regenerasi pembatik. Memang, dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang jumlah pengusaha batik bekonang tak sampai 10 orang, saat ini cukup banyak wirausahawan yang tergerak membangkitkan kembali batik itu. Masalahnya, tenaga pembatiknya yang langka.
Tidak hanya jumlahnya yang sedikit, usia mereka pun sudah tua, rata-rata di atas 70 tahun. Mereka memang tidak kesulitan saat harus membatik berbagai motif batik bekonang asli karena sudah sangat hafal. Tetapi teknik menggambar mereka tidak bisa diarahkan seperti keinginan para pengusaha yang menuntut kerapian.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR