Ketika Ibu Rumah Tangga Main Reog Ponorogo, Beginilah Jadinya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ketika ibu-ibu rumah tangga main reog Ponorogo, beginilah jadinya.
Ketika ibu-ibu rumah tangga main reog Ponorogo, beginilah jadinya.

Grup seni reog satu ini berbeda dengan grup reog lain yang kental dengan dunia lelaki. Di sini, mulai pengrawit sampai pemainnya semuanya ibu rumah tangga. Meski personelnya kaum hawa, penampilan mereka tak bisa dianggap remeh.

---

Intisari sudah hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -"Justru karena pemainnya ibu-ibu itulah yang jadi daya tarik,” kata Aning Sulistyowati (36), ketua grup reog Sardulo Nareswari (SN) kepada NOVA di rumahnya di Desa Sawoo, Kec. Sawoo, Ponorogo, Jawa Timur.

Suasana pagi di sebuah pelataran rumah yang cukup luas di Desa Sawoo, Kec. Sawoo, Ponorogo, Jawa Timur, hari itu amat meriah. Bunyi kendang mengentak-entak dipadu suara gong, kenong, angklung, dan kempul terdengar begitu ritmis.

Bersamaan itu, muncul pembarong dengan dadag merak yang mirip kipas raksasa berkepala singa. Dengan lagak perkasa, tubuhnya lincah meliuk-liuk, mengibas ke kanan dan ke kiri, mengikuti ritme musik yang dimainkan para pengrawit.

Tak kalah indahnya, lima orang pemain jathilan dengan kuda lumping melompat-lompat kecil sambil berlenggak-lenggok. Dua Bujang Ganong dengan topeng berkarakter keras yang menggambarkan patih serta Kelono Sewandono, sang ratu cantik, mengeluk-elukkan tubuh dengan sangat indah.

Beberapa warok dengan busana khas garis-garis putih merah dan celana hitam longgar bertali tampar yang melingkar di perut menyiratkan karakter sang jagoan pun tampil. Suara Wirosuworo yang melantunkan tembang berirama riang melengkapi keindahan sebuah fragmen.

Itulah reog Ponorogo.

Namun, ada yang berbeda dari penampilan grup reog yang diberi nama Sardulo Nareswari (SN) ini. Tidak seperti grup reog pada umumnya yang biasanya dimainkan lelaki, semua personel SN, termasuk pengrawit yang mengisi musik, adalah ibu rumah tangga.

“Yang menjadi daya tarik bagi penonton justru karena pemain kami semuanya perempuan,” kata Aning Sulistyowati (36), ketua grup reog SN ketika ditemui NOVA Maret 2016 lalu.

Aning, yang merupakan istri Ke-pala Desa Sawoo, Eko Heri Santoso (42), menjelaskan, grup reog SN didirikan semata-mata agar kesenian tradisional reog asli Ponorogo tidak punah, bahkan makin berkembang.

“Seni itu, kan, tidak statis tapi terus berkembang, bersamaan dengan perkembangan zaman. Memang, sesuai pakemnya reog itu dimainkan para lelaki, tetapi kalau sekarang kami mendirikan reog dengan pemain perempuan apa salah? Kan, tidak,” katanya menjelaskan.

“Pemain perempuan justru memberikan nuansa yang berbeda.”

Menurut Aning, SN berdiri setahun lalu. Ceritanya, suatu ketika sang suami yang menjabat sebagai Kades melemparkan ide kepadanya serta dua orang lainnya, Tri Heny Astuti dan Yulengsi, agar ibu-ibu anggota PKK yang ia pimpin mendirikan reog perempuan.

Tujuannya selain untuk melestarikan kebudayaan asli Ponorogo, sekaligus memberi kegiatan posisif bagi ibu-ibu itu sendiri. Ketiganya pun menerima tawaran tersebut dan di lain kesempatan mereka melemparkan ide tersebut kepada ibu-ibu pada kesempatan berkumpul.

“Ternyata responsnya sangat positif. Ibu-ibu sangat bersemangat mendukung didirikannya reog perempuan,” imbuhnya.

Dalam waktu tidak lama, 50 perempuan mendaftarkan diri menjadi bagian dari pemain serta pengrawit SN.

“Pokoknya seru. Semangat ibu-ibu membuat kami makin terpacu untuk segera mewujudkan grup reog. Mereka itu tidak sekadar ingin kumpul ramai-ramai, tapi ingin agar seni reog makin berkembang di masa akan datang,” timpal Tri Heny Astuti menimpali.

Bahkan, saking semangatnya, ibu-ibu dengan dengan sukarela datang latihan meski dalam keada-an hujan lebat. “Mereka bilang, ‘Bu, saya ikut reog sekaligus sebagai salah satu cara untuk refreshing, paling tidak, bisa melupakan utang yang menumpuk meski dalam waktu sesaat,’” kata Aning sambil tertawa.

Untuk saat ini jadwal latihan dilakukan seminggu dua kali, tepatnya hari Selasa dan Sabtu sore. Para pemain sampai pengrawit datang dari berbagai latar belakang. Usia mereka bervariasi, mulai di bawah 30 tahun sampai nenek-nenek berusia di atas 70 tahun.

Demikian pula latar belakangnya, mulai ibu rumah tangga, pencari rumput, istri polisi, istri PNS, sampai istri tokoh agama juga ada. Pada saat mulai berdiri, lanjut Aning, anggota SN dilatih oleh Resti Buwana Wardani, dosen seni sekaligus berlatar belakang pelaku seni reog.

“Setelah Resti kembali mengajar di Jember, dilanjutkan oleh Mas Ary sebagai pelatih pengganti,” tambah Aning.

Selain untuk kesenian dan hiburan, keikutsertaan ibu-ibu dengan SN sekaligus membuat badan sehat mengingat gerakan reog yang cukup atraktif.

Namun, pemain SN berusaha menghindari gerakan-gerakan yang sekiranya kurang baik jika dilakukan oleh perempuan. “Gerakan-gerakan yang sekiranya kurang pas jika dilakukan pemain reog perempuan, tidak kami lakukan demi menjaga sopan santun,” imbuhnya.

Sementara itu, Eko menganggap reog SN muncul pada waktru yang tepat. Setahun lalu ketika terjadi pembakaran reog di kedutaan Davao, untuk pertama kalinya SN tampil di depan publik. Bersama para pelaku seni reog yang lain, puluhan anggota SN ikut ambil bagian melakukan demo di Desa Sawoo sebagai bentuk protes pembakaran reog yang terjadi di luar negeri tersebut.

“Dari sana awal mula masyarakat mengetahui keberadaan kami seba- gai reog perempuan,” paparnya.

Sejak itu, penampilan SN mampu menyedot perhatian masyarakat. Pernah, begitu selesai orasi di kecamatan, anggota SN untuk pertama kalinya perform di depan umum. “Penonton senang sekali, bahkan ketika kami sudah selesai, penonton masih terus duduk menunggu dan meminta kami perform lagi,” imbuhnya bangga.

Aning memimpikan Ponorogo bisa menjadi seperti Bali. Tidak hanya menjual keindahan alamnya saja, tetapi juga memiliki kesenian tari yang sangat kuat yang menjadi daya tarik wisatawan. “Kami ingin setelah waduk Bendo selesai dibangun, para wisatawan yang datang tidak hanya menikmati suasana alamnya yang asri, tetapi sekaligus menyaksikan pergelaran reog.”

Kendati demikian, lanjut Aning, berdirinya SN bukan berarti tanpa cibiran dan tentangan. Meski tidak banyak, tetapi ada sebagian orang yang menganggap bahwa reog perempuan, selain menyalahi kodrat juga menyalahi pakem.

Bagi sebagian orang, reog identik sebagai seni yang hanya dilakukan lelaki. “Bahkan sebagian lagi mengatakan, sudah tua-tua, kok, bermain reog, dan masih banyak lagi cibiran lainnya,” timpal Eko yang sudah dua periode menjadi kepala desa tersebut.

Bagi anggota SN, menghadapi cibiran masyarakat seperti itu tidak masalah, sebab menurut mereka, seni akan terus berkembang sehingga tidak ada salahnya kaum hawa mencoba berkontribusi mengembangkan seni reog dengan warna berbeda.

“Namun, yang utama SN dimaksudkan untuk membangun spirit agar reog tidak mati, tetapi justru makin berkembang,” imbuh Aning.

---

Intisari sudah hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

---

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait