Intisari-online.com - Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun (1966-1998).
Telah meninggalkan jejak kemajuan ekonomi.
Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat praktik-praktik yang menyimpang dari prinsip negara hukum dan konstitusi.
Berikut beberapa penyimpangan tersebut:
Pelanggengan Kekuasaan: Konstitusi 1945 membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode.
Namun, melalui amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR hasil pemilihan umum (Pemilu) yang dikendalikan pemerintah, Soeharto berkuasa selama enam periode.
Media massa diawasi ketat, kritik terhadap pemerintah dibatasi, dan organisasi sipil yang dianggap membahayakan diberedel.
Pemilihan Umum (Pemilu) Tidak Langsung: Pemilu yang seharusnya menjadi sarana demokrasi untuk memilih pemimpin, justru dimanipulasi.
Partai politik di luar Golkar (partai pemerintah) dibatasi pergerakannya, dan hasil Pemilu selalu dimenangkan Golkar.
Dwi Fungsi ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memegang peran ganda dalam bidang politik dan sosial.
Baca Juga: Mengapa pada Awal Kemerdekaan Indonesia Kondisi Ekonomi Sangat Lemah?
ABRI menduduki kursi di MPR dan DPR, serta terlibat dalam kegiatan bisnis yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Supresi terhadap Kelompok Oposisi: Mereka yang dianggap kritis dan beroposisi terhadap pemerintah dibungkam.
Tidak jarang terjadi penangkapan dan penahanan tanpa melalui proses hukum yang adil.
Dampak dari penyimpangan tersebut adalah terkikisnya prinsip negara hukum dan demokrasi. Masyarakat menjadi apatis dan tidak berani bersuara.
Akumulasi ketidakpuasan inilah yang akhirnya memicu gerakan reformasi yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998.