Jelaskan Bagaimana Awal Terjadinya Konflik Kaum Adat Dengan Kaum Padri Di Sumatera Barat

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Artikel ini akan jelaskan bagaimana awal terjadinya konflik Kaum Adat dengan Kaum Padri di Sumatera Barat.
Artikel ini akan jelaskan bagaimana awal terjadinya konflik Kaum Adat dengan Kaum Padri di Sumatera Barat.

Intisari-Online.com -Tak semua tokoh pengembang agama Islam di Indonesia menghadapi jalan yang mudah dalam dakwahnya.

Beberapa di antaranya juga kesusahan, di antaranya adalah Tuanku Imam Bonjol yang harus sampai mengobarkan Perang Padri demi tegaknya syariat Islam.

Artikel ini akan jelaskan bagaimana awal terjadinya konflik Kaum Adat dengan Kaum Padri di Sumatera Barat.

Perang Padri merupakan perang yang melibatkan kelompok ulama yang disebut Kaum Padri dengan Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.

Perang ini terjadi pada 1803-1838 di wilayah KerajaanPagaruyung.

Semula Perang Padri adalah perang saudara yang kemudian berakhir menjadi perang melawan pemerintahan pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu tokoh dari peristiwa Perang Padri yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol.

Perang Padri pada mulanya disebabkan adanya perbedaan prinsip mengenai ajaran agama antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.

Pertentangan terjadi karena kaum Padri atau kelompok ulama ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di masyarakat Kaum Adat.

Upaya perubahan pandangan itu diawali dengan pulangnyatiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803.

Mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang.

Ketiganya ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2005) karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah.

Ketika itukebiasaan Kaum Adat dalam kesehariannya waktu itu dekat dengan judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau, serta penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan.

Sebelum pertentangan ini terjadi, sudah terjadi perundingan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat yang tidak menemukan kata sepakat.

Sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, namun nyatanya mereka masih tetap menjalankannya.

Hal tersebut yang membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak.

Perang Padri kemudian meletus sebagai perang saudara dan melibatkan Suku Minang dan Mandailing.

Pada masa perang tersebut, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.

Kronologi Perang Padri

Setelah Kaum Padri melakukan berbagai cara untuk mengajak masyarakat adat meninggalkan perbuatan maksiat dan mengikuti syariat Islam, meletuslah perang pada tahun 1803.

Puncak perang saudara ini terjadi pada tahun 1815, di mana Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung sehingga pecah peperangan di Koto Tangah.

Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan, dan Kaum Padri berhasil menekan kaum adat.

Saat itu Kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun, atau lebih dikenal dengan sebutan Harimau nan Salapan.

Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam perang ini.

Tapi kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada pemerintah Kolonial Belanda.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung.

Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.

Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam.

Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822.

Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba kembali menyerang Lintau.

Namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.

Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff.

Tapi pada 1825 dia meninggal dunia dan dimakamkan di Pagaruyung.

Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Saat itu memang posisi Pemerintah Hindia Belanda tegah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di daerah Eropa dan Jawa (Perang Diponegoro) yang menguras dana pemerintah.

Selama periode gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat.

Sehingga akhirnya muncul suatu kesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar.

Kesepakatan ini berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau.

Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 dan telah merugikan kedua belah pihak baik harta maupun korban jiwa pun berakhir.

Berakhirnya perang Diponegoro mengembalikan kekuatan Belanda yang kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri.

Keinginan kuat Belanda untuk menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau membuat mereka melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Diketahui nagari Pandai Sikek adalah daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api.

Belanda juga membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya.

Pada 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda.

Belanda yang menyadari keadaan telah berubah kemudian mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut.

Tapi untuk berdagang dan menjaga keamanan.

Sebagai alasan Belanda untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah akan memerlukan biaya, maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda.

Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda.

Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap.

Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan Hulu) yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh ke tangan Belanda pada 28 Desember 1838.

Perang Padri pun dianggap selesai dengan kemenangan jatuh ke pihak Kolonial Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya.

Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica di bawah kendali Hindia Belanda.

Perang Padri yang berlangsung selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis memakan korban dari sesama Kaum Padri dan Kaum Adat yaitu orang Minangkabau dan Batak Mandailing.

Dampak yang langsung dirasakan setelah Perang Padri adalah jatuhnya Kerajaan Pagaruyung atau wilayah Sumatera Barat ke tangan Kolonial Belanda.

Selain itu, Tuanku Imam Bonjol yang tak sudi untuk menyerah kepada Belanda harus ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.

Dalam pengasingan tersebut Tuanku Imam Bonjol sempat dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado dan meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.

Tapi dampak Perang Padri bagi penduduk setempat pada akhirnya adalah lahirnya persatuan para pemimpin tradisional dan agama.

Itulah artikel yangjelaskan bagaimana awal terjadinya konflik Kaum Adat dengan Kaum Padri di Sumatera Barat, semoga bermanfaat.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait