Setelah Pangeran Cakrabuana wafat kemudian kekuasaan atas negeri Cirebon diserahkan kepada menantunya itu.
Sunan Gunung Jati diketahui memiliki beberapa istri.
Mereka adalah Nyi Mas Babadan yaitu Putri Ki Gede Babadan, Nyi Mas Pakungwati yaitu Putri Pangeran Cakrabuana, Nyi Mas Kawunganten yaitu Putri Sang Surosowan, Ratu Pakungwati yaitu anak Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Rara Jati (Syarifah Bagdad) yaitu Putri Ki Gede Jati, dan Ong Tien yaitu Putri Cina yang berganti nama menjadi Rara Sumanding.
Pernikahan-pernikahan tersebut memberikan keturuanan yaitu putri dan putra Sunan Gunung Jati dari beberapa istrinya.
Dari pernikahan dengan Nyi Mas Pakungwati mereka dikaruniai dua anak yaitu Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin), Sementara dari pernikahan dengan Nyi Mas Kawunganten mereka dikaruniai dua anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I).
Kemudian dari pernikahannya dengan Nyi Mas Rara Jati mereka dikaruniai dua anak yaitu Pangeran Jaya Kelana dan Pangeran Brata Kelana.
Sunan Gunung Jati menuntut ilmu agama hingga ke Makkah dan berguru pada Syekh Tajudin Al-Qurthubi.
Tak lama kemudian dia juga melanjutkan belajar ke Mesir dan berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, ulama bermadzhab Syafi’i.
Setelah kembali ke tanah air, Sunan Gunung Jati sempat berguru pada Syekh Maulana Ishak di Pasai, Aceh.
Perjalanannya berlanjut hingga ke Karawang, Kudus, sampai di Pesantren Ampeldenta, Surabaya di mana dia berguru kepada Sunan Ampel.
Sunan Gunung Jati lantas diminta berdakwah dan menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan menjadi guru agama dan menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung.
Di sana dia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar sehingga para santri di sana memanggilnya dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR