Intisari-Online.com -Penyebaran Islam di Jawa Barat tak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Gunung Jati.
Artikel ini akan membahas tentang Sunan Gunung Jati dan apa kaitannya dengan Fatahillah yang membebaskan Sunda Kelapa dari Portugis.
Jika sebagian besar Wali Songo wilaya tugasnya berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak dengan Sunan Gunung Jati.
Sosok ini dianggap sebagai pembawaperadaban Islam di Cirebon dan wilayah Jawa Barat lainnya.
Bagaimanapun juga, Sunan Gunung Jati adalah Sultan Cirebon yang memerintah dari 1479 hingga 1568.
Sebelumnya Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479).
Sosok inilah yang dianggap sebagai perintispemerintahan berdasarkan asas Islam di sana.
Lalu pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati tak hanya Islam, namun bidang politik, keagamaan, dan perdagangan di Cirebon juga maju sangat pesat.
Silsilah Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati memiliki nama asli yaitu Syarif Hidayatullah yang lahir pada tahun 1448.
Dia lahir dari orangtuaRaja Abdullah (Syarif Abdullah) dengan ibunya bernama Rara Santang yang merupakan putri Prabu Siliwangi asal Pajajaran dengan gelar Syarifah Mudaim.
Di Cirebon, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati yang merupakan putri Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon.
Setelah Pangeran Cakrabuana wafat kemudian kekuasaan atas negeri Cirebon diserahkan kepada menantunya itu.
Sunan Gunung Jati diketahui memiliki beberapa istri.
Mereka adalah Nyi Mas Babadan yaitu Putri Ki Gede Babadan, Nyi Mas Pakungwati yaitu Putri Pangeran Cakrabuana, Nyi Mas Kawunganten yaitu Putri Sang Surosowan, Ratu Pakungwati yaitu anak Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Rara Jati (Syarifah Bagdad) yaitu Putri Ki Gede Jati, dan Ong Tien yaitu Putri Cina yang berganti nama menjadi Rara Sumanding.
Pernikahan-pernikahan tersebut memberikan keturuanan yaitu putri dan putra Sunan Gunung Jati dari beberapa istrinya.
Dari pernikahan dengan Nyi Mas Pakungwati mereka dikaruniai dua anak yaitu Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin), Sementara dari pernikahan dengan Nyi Mas Kawunganten mereka dikaruniai dua anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I).
Kemudian dari pernikahannya dengan Nyi Mas Rara Jati mereka dikaruniai dua anak yaitu Pangeran Jaya Kelana dan Pangeran Brata Kelana.
Sunan Gunung Jati menuntut ilmu agama hingga ke Makkah dan berguru pada Syekh Tajudin Al-Qurthubi.
Tak lama kemudian dia juga melanjutkan belajar ke Mesir dan berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, ulama bermadzhab Syafi’i.
Setelah kembali ke tanah air, Sunan Gunung Jati sempat berguru pada Syekh Maulana Ishak di Pasai, Aceh.
Perjalanannya berlanjut hingga ke Karawang, Kudus, sampai di Pesantren Ampeldenta, Surabaya di mana dia berguru kepada Sunan Ampel.
Sunan Gunung Jati lantas diminta berdakwah dan menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan menjadi guru agama dan menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung.
Di sana dia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar sehingga para santri di sana memanggilnya dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati.
Setelah masyarakat Cirebon banyak yang memeluk agama Islam, Sunan Gunung Jati lantas lanjut berdakwah ke daerah Banten.
Sunan Gunung Jati menggunakan pendekatan sosial budaya untuk dakwahnya, yang membuat ajaran Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Dengan memperkuat kedudukan politik sekaligus memperluas hubungannya dengan tokoh yang berpengaruh di daerah Cirebon, Demak dan Banten maka cara dakwahnya makin kuat.
Beberapa hal yang dimanfaatkan Sunan Gunung Jati dengan kekuasaannya adalah untuk membangun sarana dan prasarana ibadah di seluruh wilayah kekuasaannya.
Kemudian Sunan Gunung Jati juga membagun jalur transportasi sebagai penunjang pelabuhan dan sungai untuk memudahkan penyebaran agama Islam.
Secara tidak langsung dampaknya juga terasa di bagi masyarakat luas hingga Cirebon pun berkembang dengan pesat.
Penyebaran ajaran Islam juga dilakukan Sunan Gunung Jati dengan menikahi gadis setempat.
Sunan Gunung Jati meninggal diperkirakan pada pertengahan abad ke-16 dan dimakamkan di puncak Bukit Sembung yang khusus didirikan di pinggiran kota Cirebon.
Makam Sunan Gunung Jati hingga saat ini masih kerap dikunjungi masyarakat yang ingin berziarah dan menjadi salah satu tujuan wisata religi di Pulau Jawa
Hubungannya dengan Fatahillah
Sunan Gunung Jati kerap diidentikkan dengan Fatahillah, sosok yang berhasil membebaskan Sunda Kelapa, sekarang Jakarta, dari Portugis.
Terkait hal ini memang ada perbedaan.
Fatahillah atau Faletehan, merupakan panglima pasukan Kerajaan Demak-Cirebon yang memimpin penaklukan Portugis di Sunda Kelapa pada 1527.
Setelah mengusir Portugis, dia menggganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kota kemenangan.
Nama Faletehan didapat dari orang Portugis bernama Joao de Barros dalam bukunya yang berjudul Decadas da Asia.
Asal-usul Fatahillahterusdiperdebatkan oleh para ahli hingga saat ini.
Ada juga yangmengganggap bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama.
Mengenai asal-usul dari Fatahillah terdapat banyak pendapat dan riwayat yang dikemukakan oleh para sejarawan.
Salah satu pendapat mengemukakan bahwa Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang memilih untuk hijrah ke Mekkah setelah tanahnya dikuasai Portugis.
Setelah beberapa tahun di Mekkah, Fatahillah kembali ke tanah air, tetapi bukan ke Aceh, melainkan ke Jawa, tepatnya di Kerajaan Demak.
Tak hanya itu, ada pendapat yang meyakini bahwa Fatahillah adalah keturunan raja dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad, yang kemudian menikahi putri Raja Pajajaran.
Pendapat lain menyebutkan bahwa Fatahillah lahir pada 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda dan Nyai Rara Santang.
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda disebut sebagai pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim, sedangkan Nyai Rara Santang adalah putri Raja Pajajaran, Raden Manah Rasa.
Soal hubungan keluarga, banyak yang meyakini Fatahillah merupakan menantu dari Sunan Gunung Jati.
Terlepas dari perdebatan asal-usulnya, Fatahillah diakui sebagai panglima perang yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Para Sejarawan berpendapat bahwa Fatahillah menginjakkan kakinya di Jawa pada 1525, tepatnya di Tanah Sunda.
Kedatangannya disambut baik oleh Raja Sunda, Prabu Surawisesa, yang dikenal oleh Portugis sebagai Raja Samio.
Kerajaan Sunda pada saat itu telah melakukan kerja sama dengan Portugis guna melegitimasi kekuasaannya di Sunda Kelapa dari kekuatan politik Islam di wilayah Jawa atau Mataram.
Tapi Fatahillah menilai bahwa kehadiran Portugis di Sunda Kelapa merupakan ancaman bagi seluruh wilayah Nusantara, terutama Jawa.
Fatahillah kemudian pergi ke Demak dan mengabdikan dirinya kepada Sultan Trenggono, penguasa Kerajaan Demak saat itu.
Sultan Trenggono kemudian menikahkan adik perempuannya dengan Fatahillah.
Selain itu, Fatahillah juga diberikan kuasa terhadap ribuan prajurit untuk mengislamkan Sunda dan merebut Sunda Kelapa dari Portugis.
Dalam perjalanannya ke Sunda Kelapa, Fatahillah singgah di Kesultanan Cirebon untuk menggabungkan kekuatannya.
Fatahillah diperkirakan membawa 20 kapal yang mengangkut sekitar 1.500 pasukan di bawah pimpinannya.
Ekspedisi itu mulai dilancarkan pada 1526 dan berakhir pada 22 Juni 1527, ketika pasukannya berhasil mengalahkan Portugis dan menguasai Sunda Kelapa.
Setelah berhasil mengusir Portugis, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Penaklukkan Fatahillah atas Portugis pada 22 Juni 1527 kemudian diperingati sebagai hari jadi Jakarta.
Sejarawan seperti Slamet Muljana dan Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan orang yang sama.
Mereka meyakini bahwa Fatahillah, selain sebagai penakluk Sunda Kelapa, juga sebagai seorang pedakwah agama Islam di Cirebon hingga akhir hayatnya pada 1570.
Tapi pendapat itu dibantah, bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan dua orang yang berbeda.
Hal ini dibuktikan dengan adanya makam Fatahillah dan Sunan Gunung Jati yang berada di lokasi berbeda.
Selain itu, pendapat terkait sepak terjangnya juga berbeda. Fatahillah dikenal sebagai seorang panglima perang Demak.
Sedangkan Sunan Gunung Jati adalah anggota dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa.