Intisari-Online.com -Sebagai ilmu pengetahuan, antropologi tentu saja punya prinsip-prinsip dasar dalam melakukan penelitiannya.
Lalu bagaimana prinsip-prinsip dasar antropologi dalam melihat permasalahan di masyarakat?
Pendekatan Holistik dalam Antropologi
Sebagai ilmu yang mengkaji manusia dan kebudayaan, antropologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang bersifat holistik (Saifuddin, 2006).
Antropologi bersifat holistik karena antropologi mengkaji pengalaman manusia secara menyeluruh.
Dalam arti, antropolog melihat keterkaitan antara faktor kehidupan manusia dan mempelajari hubungan di dalamnya.
Para antropolog tertarik pada seluruh fenomena manusia dan pada bagaimana berbagai aspek kehidupan manusia berinteraksi.
Pendekatan holistik dapat dipahami sebagai cara berpikir bahwa suatu fenomena terhubung dengan fenomena lain dan menciptakan semacam entitas berdasarkan keterkaitan dan pengaruh timbal balik antara berbagai elemennya.
Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman utuh tentang fenomena sosial budaya dengan menggali dari berbagai aspek kehidupan manusia yang memengaruhinya.
Seseorang tidak dapat sepenuhnya memahami suatu kebudayaan dengan mempelajari hanya satu aspek saja dari sejarah, bahasa, tubuh, atau masyarakat kita yang kompleks.
Dengan menggunakan pendekatan holistik, para antropolog mengungkap kompleksitas fenomena biologis, sosial, atau budaya.
Ringkasnya, pendekatan holistik memeriksa bagaimana berbagai aspek kehidupan manusia saling memengaruhi (Brown et al., 2020).
Pendekatan holistik merupakan bagian sentral dalam perspektif antropologi (Otto &Bubandt, 2010).
Pendekatan holistik merupakan karakteristik khas dari ilmu antropologi, yang membedakan antropologi dengan disiplin ilmu lain.
Disiplin ilmu lainnya hanya berfokus pada satu faktor-biologi, psikologi, fisiologi, ataumasyarakat dalam menjelaskan perilaku manusia.
Perspektif Emik dan Etik
Masyarakat seringkali memahami suatu kebudayaan dari kaca mata kebudayaannya sendiri dalam menggambarkan dan mengkaji kebudayaan lain.
Hal itu juga menimpa para antropolog.
Para antropolog dihadapkan pada dilema apakah berangkat dari perspektif kebudayaan masyarakat yang diteliti atau mewakili cara pandangnya sebagai ilmuan.
Dalam disiplin ilmu antropologi, kedua hal yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan dan melukiskan suatu kebudayaan tersebut disebut dengan perspektif emik dan etik.
Istilah emik berasal dari istilah linguistik, yaitu ‘fonemik’ (phonemic).
Secara sederhana, emik mengacu pada sudut pandang masyarakat yang diteliti atau native’s point of view (Saifuddin, 2006).
Emik dapat dipahami sebagai cara untuk memahami dan melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang atau perspektif masyarakat pemilik kebudayaan yang dikaji.
Apabila mengkaji suatu kebudayaan menggunakan perspektif emik, temuan yang dihasilkan akan bersifat khas-budaya (culture-specific) atau akan menghasilkan temuan yang berbeda pada konteks budaya yang berbeda.
Sementara istilah etik dalam antropologi berasal dari istilah fonetik (phonetic) pada ilmu linguistik.
Etik merupakan pendekatan atau cara untuk memahami dan melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang peneliti (scientist’s point of view).
Cara pandang etik merupakan penjelasan, deskripsi dan analisis yang mewakili cara pandang pengamat sendiri sebagai orang di luar masyarakat yang ditelitinya.
Apabila mengkaji suatu kebudayaan secara etik, temuan yang dihasilkan cenderung sama padaberbagai konteks budaya, atau lebih bersifat universal.
Deskripsi atau penjelasan antropologis dianggap sebagai cara pandang etik, apabila dapat diterapkan secara lintas budaya.
Deskripsi atau pengetahuan etik tidak bergantung pada acuan khusus, atau bersifat lokal semata, melainkan harus dapat digeneralisasi.
Selain itu, deskripsi oleh pengamat dapat dilakukan secara independen, artinya deskripsi etik harus dapat dikembangkan oleh pengamat bebas atau independent observer dengan memperoleh hasil yang sama ketika validasi dilakukan.
Relativisme Kebudayaan
Keberagaman dan perbedaan budaya dalam masyarakat dapat mendorong munculnya suatu sikap yang disebut dengan etnosentrisme.
Etnosentrisme adalah sebuah sikap yang memandang bahwa budayanya sendiri lebih baik dibandingkan dengan budaya lain.
Sikap ini dapat mendorong terjadinya konflik sosial dalam masyarakat karena cenderung menggunakan standar nilai dari kebudayaannya sendiri untuk memandang kebudayaan orang lain.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu sikap dan pandangan yang dapat mengatasi tumbuhnya sikap tersebut, terutama dalam kajian antropologi menggambarkan kebudayaan masyarakat.
Dalam ilmu antropologi budaya, terdapat istilah relativisme budaya yang menjadi salah satu prinsip antropologi.
Prinsip ini digunakan dalam melihat suatu nilai, perilaku, dan budaya yang ada dalam suatu kelompok masyarakat sesuai budaya masyarakat yang dikaji itu sendiri.
Relativisme budaya merupakan suatu pandangan bahwa setiap masyarakat, nilai, kebudayaan, kebiasaan, kepercayaan, dan aktivitas harus dipahami dari cara atau sudut pandang budaya itu sendiri (Erikson, 2004).
Prinsip ini diperkenalkan oleh antropolog Franz Boas, pada abad ke-20, yang mengemukakan gagasannya bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang absolut melainkan relatif.
Namun, istilah relativisme budaya baru dikembangkan oleh murid-murid Boas yang pertama kali digunakan oleh Alain Cocke pada tahun 1924.
Dalam sejarah antropologi, prinsip relativisme kebudayaan ini mulai muncul sebagai reaksi terhadap evolusionisme budaya Darwin, August Comte, E.B. Tylor, Herbert Spencer, dan Lewis Henry Morgan serta gerakan nasionalisme Eropa akhir abad ke-19 dan ke-20 (Ethnology-Encyclopedia, 1996a).
Menurut pandangan evolusionis awal, umat manusia mengalami tingkat perkembangan dari kebiadaban atau barbarisme menuju peradaban yang lebih baik.
Namun, di sisi lain pelaku budaya yang mendeklarasikan bahwa budayanya sendiri telah mencapai puncak tertinggi dari proses perkembangan ini ternyata menyimpan doktrin nasionalis yang rasis, yang berlaku dalam dua perang dunia.